Info Ibadah dan Pelayanan:
Ibadah Minggu:
Persekutuan Doa:
Kategorial:
Pembinaan:
Konseling: (Sesuai perjanjian) Hub. 0821-8424-2291 Tautan Gereja Kristus:
|
Renungan, 15 Maret 2020
Yesus Sumber Air Hidup Yohanes 4:1-42 Dalam mengajar hal-hal rohani, Tuhan Yesus selalu menggunakan perumpamaan yang sesuai dengan pengertian orang-orang pada umumnya (Matius 13:34, 35; Markus 4:33, 34). Pilihan jenis perumpamaan-Nya pun sangat mengena dengan situasi di mana orang atau orang-orang itu berada, sehingga hal-hal rohani yang dalam dapat dikomunikasikan kepada pendengar-Nya. Demikian juga pada saat Tuhan Yesus berbicara kepada seorang perempuan Samaria dalam nas hari ini. Ia menjelaskan keselamatan yang akan diterima seeseorang ketika orang itu menerima dan percaya kepada-Nya, dengan “air hidup”. Yesus saat itu sedang beristirahat dari perjalanan-Nya menuju Galilea. Ia dan murid-murid-Nya memasuki daerah Samaria dan berhenti di dekat kota Sikhar, di sebuah sumur yang disebut sumur Yakub. Sumur itu dalam dan tidak dapat diambil airnya tanpa timba. Saat itu seorang wanita dari kota Sikhar datang untuk mengambil air di sumur itu. Tuhan Yesus, Sumber Air Hidup, menggunakan kesempatan itu untuk melakukan kehendak Bapa dan menyelesaikan tugas yang diberikan Bapa kepada-Nya (ay. 34). Ia mulai memberikan Air Hidup kepada wanita itu, melalui percakapan yang membangkitkan ‘kehausan’ dari wanita itu untuk tahu lebih banyak tentang topik yang sedang disampaikan Tuhan Yesus. Tanpa disadari wanita Samaria itu, ia sedang dibimbing untuk memahami rahasia hidup yang kekal. Tuhan Yesus menawarkan kepadanya, Air hidup yang akan menghilangkan “kehausan”-nya selama-lamanya; bahkan Air hidup itu akan menjadi mata air yang terus menerus memancar dalam dirinya sampai hidup yang kekal. Dari seorang yang enggan berdialog karena terhambat tradisi permusuhan Yahudi-Samaria, wanita itu makin dalam terlibat dalam dialog yang akhirnya terhubung dengan cerita pengharapan yang selama ini dikenal baik oleh orang Yahudi dan Samaria, yakni pengharapan kedatangan Mesias. Wanita itu berkata: “Aku tahu, bahwa Mesias akan datang, yang disebut juga Kristus; apabila Ia datang, Ia akan memberitakan segala sesuatu kepada kami.” (ay. 25). Yesus menjawabnya: “Akulah Dia, yang sedang berkata-kata dengan engkau.” (ay.26). Penyingkapan Diri Yesus, sebagai Mesias, kepada wanita itu, membawa dampak yang besar dalam hidupnya. Wanita itu sudah mulai menikmati ‘air hidup’ yang ada dalam dirinya. Air hidup dalam diri wanita itupun mulai mengalir kepada orang-orang di kota Sikhar, Samaria. “Kami percaya, tetapi bukan karena yang kaukatakan, sebab kami sendiri telah mendengar tentang Dia dan kami tahu, bahwa Dia benar-benar Juruselamat dunia.” (ay. 42). Demikianlah semua mereka mengalami keselamatan, mendapatkan air hidup dari Kristus Yesus. Sudahkah kita memiliki air hidup yang ditawarkan Yesus dalam hidup kita? Jika benar kita telah menerima Dia dalam hidup kita, maka kehausan kita akan hal-hal rohani pasti terpuaskan oleh Kristus. Relasi kita dengan-Nya makin dalam, kerinduan menceritakan kepada sesama tentang Kristus dan keselamatan yang disediakan-Nya akan terus bertumbuh. Hidup kita pun akan berdampak pada sekeliling kita, mengalirkan air hidup dari sumber air hidup dalam diri kita, yaitu Kristus itu sendiri, yang tinggal dalam kita. Mari kita terus membangun kehidupan rohani kita dalam Dia. Nikmati persekutuan dengan-Nya setiap saat, dan bersama-sama dengan rekan-rekan seiman. Soli Deo Gloria!!! ______________________________________________________ Renungan, 8 Maret 2020
TIDAK HANYA PERCAYA "Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan AnakNya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal." Yohanes 3:16 Jika kita menyadari bahwa hidup di dunia ini tidak untuk selamanya, untuk apa sebenarnya kita hidup? Mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya, meraih kesuksesan dalam pekerjaan dan popularitas, menuntut ilmu setinggi langit, ataukah kita mulai berpikir akan keselamatan hidup kita kelak? Minggu yang lalu kita mempelajari tentang pada mulanya Tuhan menciptakan manusia di bumi ini dengan satu tujuan yaitu menjadikan manusia serupa dan segambar denganNya, supaya manusia berkuasa atas segala ciptaanNya dan berkuasa atas seluruh bumi (Kejadian 1:26). Sayang, manusia (Adam dan Hawa) hidup dalam ketidaktaatan, akibatnya gambar dan rupa Tuhan dalam diri manusia itu menjadi rusak. Dan jelas bahwa "...upah dosa ialah maut; tetapi karunia Allah ialah hidup yang kekal dalam Kristus Yesus, Tuhan kita." (Roma 6:23). Meski demikian tujuan Tuhan tetap berlaku bagi setiap orang yang percaya kepadaNya. Untuk itulah Ia datang sebagai manusia, rela menderita dan mati di atas kayu salib untuk menebus dosa manusia. Jadi keselamatan itu dapat kita peroleh asalkan kita percaya kepada Yesus, sebab "...keselamatan tidak ada di dalam siapa pun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan." (Kisah 4:12). Akan tetapi banyak orang menyalahartikan kata 'percaya' ini; mereka menganggap bahwa keselamatan itu sangat mudah didapat, modalnya hanya percaya, sehingga mereka masih terus melakukan perbuatan-perbuatan dosa. Sebaliknya tidak sedikit pula orang Kristen yang malah kehilangan rasa percayanya kepada Tuhan karena 'mata' mereka telah dibutakan oleh besarnya masalah yang dialami, padahal Tuhan ijinkan hal itu terjadi supaya nyata kuasa Tuhan di dalamnya, bahwa bukan kita sendiri yang bertindak, tapi Tuhanlah yang bertindak melalui iman kita yang bergerak aktif. Jadi kita harus selalu bergantung penuh pada Tuhan dan mengandalkan-Nya dalam segala hal, maka kita tetap percaya bahwa apa pun yang terjadi dalam hidup ini Tuhan selalu menyelamatkan hidup kita. Soli Deo Gloria!!! ______________________________________________________ Renungan, 1 Maret 2020
Menaati Perintah Allah Kejadian 2:15-17; 3:1-7 Perintah-perintah TUHAN selalu sederhana dan sebenarnya bukan suatu hal yang berat (1Yoh 5: 3) atau mustahil untuk dilaksanakan. Beberapa di antaranya, bahkan sangatlah mudah untuk ditaati dan dilakukan. Walaupun memang tidak juga mengatakan bahwa melaksanakan seluruh firman TUHAN seolah serba-mudah, karena kenyataannya, ada harga tertentu yang harus dibayar karena ketaatan tersebut. Pertimbangkanlah kembali peristiwa dalam nas hari ini. Mengapa manusia pertama tidak dapat melakukan perintah sederhana ini: “Jangan makan…!” Mereka dengan penuh kesadaran memilih untuk melanggar perintah sederhana tersebut. Di mana kesulitannya? Seberat apakah perintah Tuhan tersebut? Mengapa mereka lebih memilih mengabaikan perkataan Tuhan dan justru melakukan apa yang dilarang? Jelas dari peristiwa pelanggaran firman Tuhan tersebut, bukan perintah yang sulit, atau sukar untuk ditaati. Motivasi hati dan keinginan manusia sudah bulat untuk mencapai suatu tujuan tertentu, melalui tindakan aktif yang bertentangan dengan firman atau perintah tersebut. Dengan kata lain, pilihan untuk bertentangan dengan firman Allah atau perintah, dilihat sebagai cara untuk mencapai tujuan yang diyakininya: “Menjadi sama dengan Allah”. Suatu tujuan yang awalnya bukan dari diri mereka sendiri, tetapi dari satu oknum yang memang menginginkan kejatuhan dan kematian manusia. Jadi, nampak jelas, kesulitannya ada pada diri manusia itu sendiri. Hadirnya pertentangan kepentingan atau prioritas, antara mentaati perintah Allah dan mencapai keinginan atau tujuan manusia itu. Si jahat berhasil menanamkan ‘kepentingan lain’, yang berbeda dan yang bertentangan dengan firman Tuhan dalam diri manusia. Suatu kepentingan yang dilihat dari sisi manusia itu seolah ‘berpihak’ pada dirinya. Manusia, dalam kebodohannya, tertipu oleh si jahat, yang mengakibatkan bukan saja kematian bagi dirinya, tetapi juga berdampak pada semua manusia yang lahir kemudian. Pilihannya yang mengesampingkan firman Tuhan, bukan karena sulitnya tuntutan Tuhan tersebut, tetapi kesulitannya ada pada menyangkal keinginan untuk mendapatkan sesuatu yang dipercaya sebagai suatu keuntungan besar baginya. Mari kita cermati hidup kita sehari-hari. Mari kita mengevaluasi setiap keinginan dan tujuan kita, apakah searah dengan Firman Tuhan? Apakah kita selalu siap menaati perintah-Nya? Dapatkah kita mengenali tipuan si jahat yang seolah menawarkan keberuntungan kepada kita, namun sebenarnya justru keterpisahan dari Allah? Maukah kita setia pada firman-Nya sekalipun mungkin membayar harga yang mahal untuk kesetiaan itu? Marilah meneladani Sang Kristus yang telah memberikan contoh kemenangan atas godaan dan kepentingan diri sendiri. Ia rela membayar harga ketaatan dengan penderitaan dan hidup-Nya, agar rencana Bapa untuk menyelamatkan manusia dapat terlaksana. Kasih-Nya kepada Bapa, mengalahkan segala kepentingan pribadinya, kesenangannya. Dibalik penderitaan dan kematian karena ketaatan pada perintah Bapa, adalah kemuliaan kekal yang tidak terhingga. Doa: Tuhan kami juga ingin belajar taat dari hal-hal yang sederhana, mengutamakan Engkau dan firman-Mu di atas segalanya. Tolong kami ya Tuhan! Amin! Soli Deo Gloria!!! ______________________________________________________ Renungan, 23 Februari 2020
Bukan YESUS yang Ku Kenal Matius 17 : 1 – 9 Penginjil menarasikan sebuah peristiwa yang kini disebut sebagai transfigurasi oleh gereja. Peristiwa dimana ketiga murid terdekatNya menjadi saksi bagaimana Yesus berubah rupa: “wajahnya bercahaya seperti matahari dan pakaiannya menjadi putih bersinar seperti terang” (ay.2) dan saat dua tokoh terpenting Kitab Ibrani, Musa dan Elia berbincang denganNya (ay.3). Nampaknya, kehadiran dua tokoh ini (dan bukan tokoh PL yang lain) bukannya tanpa alasan. Musa adalah sang pembawa hukum bagi Israel dan Elia adalah nabi berpengaruh yang membawa Israel kepada penyembahan TUHAN yang Esa. Hebatnya, mereka berdua dingambarkan sedang berbicara dengan Dia. Hal ini menunjukkan bahwa Musa dan Elia menghormati Yesus, mereka datang ke dunia untuk bertemu dengan Dia. Matius tidak menyebutkan secara spesifik pembicaraan mereka. Meskipun demikian, nampak bahwa tekanan Matius memang bukan di isi pembicaraan mereka namun peristiwa yang lebih dahsyat lagi setelah ini. Entah karena saking takjub atau bingungnya, Petrus menawari Sang Guru untuk mendirikan kemah bagi mereka bertiga. Namun seakan menanggapi tawaran manusiawi Petrus, kemuliaaan Allah turun melalui awan terang yang luar biasa dan dari dalam awan itu terdengar suara: “Inilah Anak yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan,dengarkanlah Dia.” Melalui suara Sang Bapa telah jelas, bahwa peristiwa transfigurasi adalah peristiwa dimana ke-Tuhanan Yesus dinyatakan. Tak tahan memandang kemuliaan yang luar biasa itu, para murid tersungkur gemetar ketakutan. Lalu Yesus menyentuh mereka agar mereka tak lagi ketakutan. Namun saat menengadahkan kepala, mereka tak lagi melihat siapa-siapa. Dan saat mereka menuruni gunung itu, Sang Guru berpesan agar tak menceritakan peristiwa transfigurasi itu sebelum Anak Manusia mati dan dibangkitkan dari antara orang mati. Matius menggambarkan ketiga murid ini tetap menutup mulutnya dan tak menceritakan peristiwa itu sebelum Tuhan Yesus mati dan dibangkitkan. Dari sini kita bisa melihat bagaimana ketiga murid itu mau memperhatikan apa pengalaman iman yang mereka alami dan kemudian menjadikannya kesaksian dan memberkati lebih banyak orang. Peristiwa transfigurasi yang gilang-gemilang justru ditunjukkan kepada tiga murid yang biasa. Itu bukan tanpa sebab, karena Tuhan ingin memakai yang biasa menjadi luar biasa. Dan sama seperti Tuhan telah memakai Petrus, Yohanes dan Yakobus yang biasa itu, Tuhan juga mau memakai kita yang biasa ini untuk karyaNya yang luar biasa. Soli Deo Gloria!!! ______________________________________________________ Renungan, 16 Februari 2020
Hidup Persekutuan Yang Benar 1 Korintus 3:1-9 Kehidupan jemaat Tuhan tidak dapat dipisahkan dari persekutuan antar anggotanya. Melalui persekutuan umat Tuhan dapat saling membangun sesuai dengan karunia dan talenta yang diberikan Tuhan kepada masing-masing mereka. Mereka saling menguatkan, mendapatkan pengajaran, penghiburan, bantuan, pertolongan bahkan semua hal yang berkaitan dengan pemeliharaan rohani yang mereka butuhkan. Orang percaya tidak dirancang untuk hidup sendiri atau terasing dari saudara-sauara seiman mereka. Hidup persekutuan orang percaya juga bukanlah suatu tempat yang sempurna juga. Masing-masing anggotanya masih dalam proses pengudusan melalui Firman Tuhan. Tidak heran jika menemukan berbagai masalah relasi di dalamnya. Misalnya, relasi yang buruk antar sesama anggota karena iri hati, perselisihan, dendam, dan lain sebagainya. Namun, jika seseorang tekun dalam Firman Tuhan, ia akan bertumbuh seiring dengan kesetiaannya melakukan Firman Tuhan. Sikap hati dan tingkahlakunya akan menunjukkan perubahan karena pengudusan oleh Firman Tuhan. Dalam suratnya yang pertama kepada jemaat Korintus, Paulus menyebutkan bahwa sejak ia pertama kali datang memberitakan injil di Korintus, sampai suratnya yang pertama itu ditulis, Paulus menemukan bahwa jemaat tidak bertumbuh dengan baik. Sekitar 3 atau 4 tahun lamanya berpisah, Paulus mengatakan bahwa ia masih saja berhadapan dengan ‘manusia daging’ dan bukan seperti harapannya orang-orang yang bertumbuh dan menjalankan kehidupan ‘manusia rohani’. Ciri ‘manusia daging’, disebutkan: hidup dalam perselisihan, iri hati, mengidolakan pemimpin, tidak memahami isi hati Tuhan. Jemaat masih saja belum mampu menyelesaikan masalah mereka dengan prinsip-prinsip Firman Tuhan. Tentu saja, semua itu menjadi hambatan hidup persekutuan seperti yang Tuhan inginkan. Persekutuan yang terdiri dari ‘manusia daging’, tidak akan dapat menjalankan fungsinya sebagai wadah pertumbuhan, wadah pelatihan, wadah ibadah bersama. Pasti sangat mencewakan bukan hanya Paulus, tetapi juga Tuhan, Sang empunya Persekutuan itu. Apa yang dibutuhkan agar dapat menghidupi persekutuan yang benar?
Soli Deo Gloria!!! ______________________________________________________ Renungan, 9 Februari 2020
MAKNA IBADAH Ritual keagamaan tanpa kesejatian makna sesungguhnya memuakkan hati Tuhan. Sebab bila demikian, kesalehan seseorang hanya bersifat lahiriah semata. Inilah yang terjadi pada bangsa Israel. Orang Israel yang mengaku diri sebagai umat Tuhan berlaku begitu religius. Setiap hari mereka beribadah kepada Tuhan dan mencari kehendak-Nya. Mereka juga setia melakukan perintah Tuhan (2). Dengan melakukan semua itu, umat merasa telah menyukakan hati Tuhan. Oleh karena itu alangkah terkejutnya mereka ketika menyadari bahwa ibadah mereka tidak membuat berkat Tuhan turun atas mereka (3). Mengapa Allah tidak menghiraukan ibadah umat? Karena tindakan religius umat ternyata penuh kemunafikan. Mereka berpuasa, tetapi tidak menunjukkansikap relevan dengan mengurbankan segala hasrat mereka. Mereka tetap mengejar kepentingan pribadi dan memperlakukan orang lain dengan tidak layak (3-4). Puasa mereka tidak bertujuan meratapi keberdosaan mereka, melainkan manipulasi agar Tuhan memberkati mereka. Jelas itu bukanlah jenis puasa yang diterima Allah. Puasa semacam itu hanya membuat orang menundukkan kepala dan bukan menundukkan hati di hadapan Allah. Mereka berpuasa dengan menggunakan pakaian berkabung, tetapi bukan karena meratapi ketidaktaatan mereka kepada Tuhan. Mereka mengira bahwa ibadah yang ditunjukkan dengan puasa dan pakaian kabung, lebih penting daripada sikap dan tingkah laku mereka. Pemahaman mereka ternyata berbanding terbalik dengan konsep Tuhan tentang ibadah. Ibadah yang dikehendaki Tuhan harus mewujud pada tindakan, misalnya melepaskan orang dari penindasan dan ketidakadilan (6) atau menolong orang yang berkekurangan (7). Sabat pun harus dilakukan sepenuhnya untuk Tuhan dan bukan cari-cari alasan untuk tidak memenuhinya (13). Bila mereka beribadah sesuai yang diinginkan Tuhan, barulah Dia memberkati mereka (8-12, 14). Apakah kita beribadah hanya untuk kepentingan dan kepuasan diri semata, ataukah kita sungguh ingin menyenangkan Tuhan? Soli Deo Gloria!!! ______________________________________________________ Renungan, 2 Februari 2020
Perubahan Hidup (Mikha 6:1-8) Tidak ada sesuatu apapun dalam dunia ini yang tidak mengalami perubahan. Segala sesuatu yang di alam ini saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya, bahkan yang merubahpun diubahkan. Manusia dengan alam, saling mengubahkan satu dengan yang lainnya, demikian juga manusia dengan sesamanya. Perubahan yang dihasilkan tidak selalu positiv. Banyak kerusakan alam, lingkungan, yang sulit sekali diperbaiki karena ulah manusia yang tidak memperhitungkan akibat tindakan mereka membuang sampah sembarangan, mengambil, menggali sumber daya alam dengan serakahnya. Tidak sedikit juga manusia yang rusak oleh karena ulah sesamanya. Demi mendapatkan keuntungan besar, manusia rela untuk mengorbankan orang lain, tanpa memperhitungkan tindakan mereka berdampak negativ bagi orang lain; kehilangan pekerjaan, kehilangan harga diri, keputus-asaan, dan seterusnya. Manusia rela mengingkari perjanjian dengan sesamanya, demi keuntungan pribadi atau kelompok mereka. Manusia rela mengingkari perjanjian dengan Tuhannya, demi kenikmatan hidupnya. Hidup umat TUHAN pada masa Mikha, tidak lagi mencerminkan umat yang mengenal Allah, tidak lagi mencerminkan umat yang mengasihi TUHAN, bahkan tidak lagi mencerminkan umat yang melayani TUHAN. Mereka melupakan perjanjian dengan TUHAN, Allah mereka. Mereka yang seharusnya mempengaruhi lingkungan, sesama mereka, bangsa-bangsa lain yang tidak mengenal TUHAN, ternyata justru telah dipengaruhi sedemikian rupa sehingga mereka kehilangan esensi hidup sebagai umat yang mengasihi dan mengenal Allah. Mereka tidak lagi melayani Allah dengan pengetahuan dan sikap hidup yang benar terhadap Allah dan sesama mereka. Ketidak adilan merajalela, penindasan terjadi di antara umat TUHAN. Mereka tidak segan-segan merampas milik sesamanya, merancang kejahatan malam hari dan pagi hari mereka melaksanakan kekerasan dan niat jahat mereka terhadap sesama, demi keuntungan pribadi. Para pemimpin kehilangan arah. Mereka juga tidak lagi menjadi pengajar kebenaran. Mereka justru tidak segan-segan menindas umat TUHAN, menjadikan mereka korban kekerasan mereka. Kondisi umat yang demikian, sudah sepantasnya mendapatkan penghukuman TUHAN. Tidak ada lagi penghalang bagi murka TUHAN terhadap para pelanggar perjanjian TUHAN. Namun TUHAN tidak pernah bersukacita terhadap kehancuran umat-Nya. Ia selalu memberikan kesempatan bagi umat-Nya yang sudah berada di bawah ancaman penghukuman, untuk berbalik dari jalan mereka yang sesat – jika tidak mau mengalami penghukuman TUHAN yang dahsyat. Ada janji pemulihan yang TUHAN berikan, bagi mereka yang berbalik kepada TUHAN dan kembali menjadi pelaku-pelaku Firman-Nya dengan setia: “…berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allah….adalah bijaksana untuk takut kepada nama-Nya….” (Mikha 6:8, 9). TUHAN menginginkan perubahan hidup umat-Nya dari kesesatan yang terancam maut, kepada jalan yang benar, jalan damai sejahtera, jalan kehidupan dan berkat TUHAN. Mungkinkah kita juga – tanpa kita sadari – sedang berada dalam murka TUHAN, dibawah ancaman penghukuman TUHAN, karena sikap hidup yang tidak lagi mencerminkan kemuliaan-Nya, karena segala hal yang duniawi mempengaruhi pengabdian kita kepada TUHAN? Kita lupa menjalankan keadilan, kesetiaan kita tidak lagi sepenuhnya kepada TUHAN, kita tidak lagi punya waktu untuk memeriksa diri di hadapan TUHAN, merendahkan diri dan menantikan firman-Nya? TUHAN memanggil kita untuk bertindak dan mengubah sikap hidup yang mendatangkan penghukuman TUHAN kepada sukacita persekutuan dengan-Nya dan dengan sesama umat TUHAN. Terhindar dari pengaruh negativ dunia, justru memberikan pengaruh rohani kepada dunia sekeliling kita. Doa: Ubah hati kami ya TUHAN, sehingga kami dapat bersikap adil, mencintai kesetiaan, hidup rendah hati di hadapan-Mu, menghormati nama-Mu – hidup bagi kemuliaan-Mu. Amin! Soli Deo Gloria!!! ______________________________________________________ Renungan, 26 Januari 2020
Mencari Perlindungan yang Sejati Mazmur 27 : 1 – 14 "TUHAN adalah terangku dan keselamatanku, kepada siapakah aku harus takut? TUHAN adalah benteng hidupku, terhadap siapakah aku harus gemetar?" Mazmur 27:1 Tak seorang pun tahu perihal hari esok! Karena itu Alkitab menasihati: "Janganlah memuji diri karena esok hari, karena engkau tidak tahu apa yang akan terjadi hari itu." (Amsal 27:1). Manusia hanya bisa meramal, merancang dan membuat perkiraan-perkiraan, tapi hanya Tuhan yang tahu pasti. "Banyaklah rancangan di hati manusia, tetapi keputusan Tuhanlah yang terlaksana." (Amsal 19:21), sebab "Hal-hal yang tersembunyi ialah bagi TUHAN, Allah kita, tetapi hal-hal yang dinyatakan ialah bagi kita..." (Ulangan 29:29). Mari jalani hidup ini dengan penuh penyerahan diri kepada Tuhan. Kita tahu bahwa hidup penuh tantangan, ujian dan ketidakmengertian kita akan masa depan, sehingga banyak orang menempuh segala cara untuk mencoba melihat masa depannya dengan bertanya kepada dukun, paranormal dan sebagainya dengan harapan beroleh kekuatan, perlindungan dan jaminan. Namun sebagai orang percaya kita punya Tuhan Yesus yang senantiasa menjaga, melindungi dan menyertai kita. Dalam Mazmur 27 Daud menyatakan bahwa ada banyak tantangan yang datang dari mana saja yang mungkin terjadi dalam kehidupan orang percaya. Tantangan itu bisa datang dari orang-orang di sekitar yang berniat jahat untuk menjatuhkan dan menghancurkan kita (ayat 2); masalah atau persoalan yang sedang terjadi dan kita alami (ayat 3); ditinggalkan oleh orang-orang terdekat dan yang kita kasihi (ayat 10); orang-orang yang iri dengki yang berusaha memfitnah kita (ayat 12) dan masih banyak lagi. Sikap dalam menghadapi semua itu adalah harus tetap percaya kepada Tuhan dan terus bertekun mencari Dia. "Aku mengasihi orang yang mengasihi aku, dan orang yang tekun mencari aku akan mendapatkan daku." (Amsal 8:17); dan yang terutama sekali adalah kita harus menjaga hidup ini supaya tidak menyimpang dari jalan-jalan Tuhan. Hidup dalam ketaatan adalah kunci untuk beroleh perlindungan dari Tuhan, "Sebab Engkaulah yang memberkati orang benar, ya TUHAN; Engkau memagari dia dengan anugerah-Mu seperti perisai." (Mazmur 5:13). Semakin mendekat kepada Tuhan semakin kita beroleh kekuatan dan mampu tegak berdiri di atas persoalan, karena Dia adalah perlindungan kita! Soli Deo Gloria!!! ______________________________________________________ Renungan, 19 Januari 2020
Dipanggil Menjadi Terang Yesaya 49:1-7 Perhatikan lampu minyak disebelah ini. Terang yang dihasilkannya bergantung pada beberapa hal: Yang pertama, minyak sebagai bahan bakarnya. Yang kedua, sumbu yang memungkinkan minyak dapat terbakar. Yang ketiga, adalah udara disekitarnya yang memungkinkan api dapat menyala. Dan yang terakhir adalah sumber api itu sendiri. Jika salah satu dari komponen di atas tidak ada, maka tidak mungkin akan ada “terang” dari lampu tersebut. Jika kita disebut sebagai “terang” (Mat. 5:15), oleh Tuhan Yesus sendiri, itu berarti kita adalah ‘efek dari suatu proses’ sehingga ‘terang itu ada’. Yang pasti kita bukanlah sumber terang itu. Nubuat Yesaya dalam nas ini, digenapi dua kali: Yang pertama dalam kehidupan Israel, sebagai umat TUHAN, dan yang kedua, dalam hidup Kristus Yesus – Sang Terang yang sejati itu sendiri. Sebagai umat TUHAN, Israel dilengkapi dengan berbagai hikmat yang lahir dari Firman TUHAN, yang menjadikan mereka bangsa yang khusus memancarkan ‘Terang’ pengenalan akan TUHAN, sikap dan perbuatan serta tutur kata yang memberkati bangsa-bangsa lain yang tidak mengenal TUHAN dan yang tidak berada dalam perdamaian dengan-Nya. Melalui Israel, TUHAN menuntun orang-orang untuk datang kepada-Nya, menyembah-Nya. Penggenapan kedua, terjadi dalam diri Kristus Yesus Tuhan. Dialah “Terang yang sejati”, yang datang ke dalam dunia yang gelap ini. Hidup-Nya, Pengajaran-Nya, Pengurbanan-Nya, menerangi dunia ini sedemikian – dalam anugerah-Nya – mereka melihat kemuliaan Allah yang menyelamatkan mereka dari kegelapan. Semua keterbatasan manusia untuk menyingkapkan makna hidup dan tujuan hidup dengan berbagai situasi dan kondisinya, dapat dimengerti dan diterima melalui penyingkapan-Nya: Bahwa ada kehidupan kekal yang dipersiapkan Allah bagi manusia, di dalam Dia. Bahwa di luar Dia, tidak ada kehidupan yang sesungguhnya. Kristus Yesus tidak hanya ditugaskan untuk mengembalikan Yehuda dan Israel kepada TUHAN, tetapi juga dipanggil untuk menjadi Terang bagi bangsa-bangsa di dunia ini. Itu sebabnya ada perintah yang diberikan kepada para Rasul-Nya, untuk pergi ke seluruh dunia dan menjadikan segala bangsa murid Yesus, membaptis mereka dan mengajar mereka melakukan semua perintah Tuhan. Dengan demikian ada satu umat yang lintas suku, kaum, bahasa dan bangsa; tidak lagi eksklusif umat Israel dan Yehuda. Seperti lilin yang memancarkan terangnya, demikianlah kita masing-masing pribadi dan secara kolektif umat Tuhan, wajib memancarkan terang Kristus di dalam dan melalui hidup kita. Seperti lilin, yang terbakar habis demi memancarkan terang, demikian kita meniru Kristus yang juga mengurbankan diri-Nya demi terang-Nya hadir dalam diri kita. Kitapun wajib memastikan bahwa ‘pemberian’ hidup kita untuk kemuliaan Tuhan, tidak akan sia-sia. Semua pengurbanan kita dalam pelayanan benar-benar memuliakan Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus. Itulah Misi kita yang pertama dan yang terus akan berkembang dalam pelayanan yang lebih besar lagi, yang akan Tuhan percayakan kepada kita. Doa: Terimakasih untuk kasih karunia yang memungkinkan kami menjadi terang bagi kemuliaan-Mu; ajar kami untuk taat dan setia dalam memancarkan terang Kristus melalui sikap, perbuatan dan tutur kata kami.” Amin! Soli Deo Gloria!!! _____________________________________________________________________ Renungan, 12 Januari 2020
BAPTISAN YESUS Mat 3 : 13-17 Ritual pembaptisan telah lama dikenal dan dilakukan oleh beberapa agama, seperti Mandaeanisme, Sikhisme, dan beberapa sekte kuno Yahudi. Baptis biasanya dipahami sebagai ritual pemurnian atau penyucian dari dosa dengan menggunakan air. Menjelang pelayanan- Nya, Yesus memberi diri dibaptis oleh Yohanes. Di sini muncul pertanyaan. Jika baptis melambangkan penyucian dari dosa, apakah dengan memberi diri dibaptis, Yesus menunjukkan bahwa Dia berdosa? Deane Bergant ( seorang penulis buku kristen ) , "Pembaptisan dengan air adalah ritual yang mengungkapkan secara lahiriah tentang apa yang harus diungkapkan seseorang secara batiniah. Pembaptisan Yesus yang dilakukan Yohanes di Sungai Yordan bukanlah baptisan pertobatan, melainkan tanda pengurapan-Nya sebagai Mesias." Yesus adalah klimaks dari baptisan Yohanes. Setelah itu zaman baru datang, surga terbuka, dan Yesus diumumkan sebagai Mesias. "Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan" (ay. 17). Dan Roh Kudus turun ke atas-Nya. Jadi, fokus utama dari peristiwa pembaptisan Yesus adalah pengumuman diri-Nya sebagai Mesias yang diurapi. Saat ini orang percaya menjalani pembaptisan sebagai ungkapan lahiriah, suatu pengakuan iman bahwa kita menyambut Yesus Kristus sebagai Mesias. Dialah yang mengampuni dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan; bukan karena amal ibadah kita, melainkan karena penebusan-Nya di kayu salib. Melalui baptisan, kita memasuki kehidupan baru di dalam persekutuan dengan Bapa, Anak, dan Roh Kudus Soli Deo Gloria!!! ______________________________________________________ Renungan, 05 Januari 2020
Bersyukur Sebagai Milik Kristus Efesus 1:3-14 Katekismus Heidelberg memulai pertanyaan pertama: “Apakah satu-satunya penghiburan anda dalam hidup maupun dalam kematian? Jawabnya, bahwa penghiburan kita dalam hidup ini maupun dalam kematian, kita adalah “MILIK KRISTUS”. Tidak ada penghiburan yang lebih kuat dari pada keyakinan bahwa kita adalah milik Kristus, di tengah berbagai situasi hidup yang mungkin kita alami. Tidak ada penghiburan yang lebih kuat dari pada keyakinan bahwa kita adalah milik Kristus, di dalam kematian kita. Dalam situasi dan kondisi ekstrim apapun, pemahaman dan keyakinan bahwa kita adalah milik Kristus, memberikan kemampuan, bukan hanya untuk bertahan hidup, tetapi juga untuk melakukan berbagai usaha positif untuk keluar dari permasalahan hidup saat ini. Jemaat di Efesus diingatkan oleh Paulus, bahwa mereka adalah ‘Gereja’, ‘Tubuh Kristus’, yang terdiri dari berbagai orang-orang dari segala bangsa di muka bumi ini. Bahwa ‘Tubuh Kristus’, tidak dibatasi oleh perbedaan suku, kaum, bahasa dan bangsa. Bahwa mereka semua yang telah menerima Kristus dalam hidup mereka, ternyata adalah satu dalam Dia. Paulus menjelaskan pokok-pokok iman yang disingkapkan Allah kepadanya. Bahwa untuk menjadi umat Tuhan, menjadi anak-anak Allah, bukanlah keinginan kita manusia; tetapi merupakan kehendak Allah dari semula, sebelum dunia dijadikan. Allah memilih kita dalam Kristus, menetapkan kita untuk menjadi serupa dengan Kristus, Memanggil kita melalui panggilan Injil, Membenarkan kita, Mengangkat kita menjadi anak-Nya, Menguduskan kita, memelihara kita dan akhirnya akan memuliakan kita bersama-sama dengan-Nya pada saat kedatangan-Nya yang kedua nanti. Dengan demikian, kita adalah kepunyaan-Nya, yang ditebus dengan kurban-Nya di salib. Ia membayar dan membeli kita – melunasi harga keselamatan kita dengan kematian-Nya. Kini kita adalah kepunyaan-Nya. Kita hidup bagi-Nya, untuk tujuan-tujuan yang telah ditetapkan-Nya bagi setiap kita, bersama dengan seluruh umat-Nya di muka bumi dan di sepanjang segala abad, menjadi kesaksian, menjadi duta-Nya/ utusan-Nya di dalam dunia ini. Menjadi milik-Nya, berarti kita juga dalam pemeliharaan dan penjagaan-Nya. Setiap peristiwa yang kita alami tidak terjadi begitu saja, tanpa sepengetahuan dan ijin-Nya. Sang pemilik kita, berdaulat penuh atas hidup kita dan masa depan kita. Jika Dia di pihak kita, siapakah yang akan melawan kita? Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih-Nya? Dalam seluruh keberadaan hidup, susah ataupun senang, kita ada bersama-Nya. Kita bahkan dikatakan “lebih dari pemenang” (More than Conqueror), di dalam Dia yang mengasihi kita (Roma 8:31 dst) Mari kita lebih giat lagi hidup bagi Dia, bagi kemuliaan-Nya. Jangan bimbang dan ragu di setiap situasi hidup kita di tahun anugerah yang baru ini. Kita akan baik-baik saja dan diberkati melewati hari-hari kita di tahun 2020 ini. Bukan hanya itu saja, kita juga diberkati untuk menjadi berkat bagi sesama kita, terutama pada saudar-saudara seiman. Doa: Ya Tuhan, Tuan kami, tetaplah bersama kami, hiduplah dan nyatakan kemuliaan-Mu di dalam dan melalui kami, berjalanlah di depan kami, tuntunlah kami di sepanjang tahun 2020 yang akan kami jalani ini. Biarlah hati kami melimpah dengan syukur karena Engkaulah pemilik hidup kami. Amin! Soli Deo Gloria!!! ______________________________________________________ Renungan, 15 Desember 2019
Bertekun dan Bersabar Yakobus 5 : 7 - 10 Tidak sabar sering menambah persoalan. Kita mau kesulitan kita cepat selesai, tetapi yang terjadi sebaliknya, masalah makin runyam dan akhirnya kita makin menderita. Dalam menantikan Tuhan Yesus kembali, Yakobus menasihati jemaatnya agar bertekun (ay.11). Kata "bertekun" (Yunani, Hupomone) menunjuk kepada ketabahan dalam situasi pencobaan apa pun yang kita hadapi tanpa kehilangan kepercayaan kepada Allah. Ketekunan ini bisa dikaitkan dengan sikap sabar, sabar dalam menjalani setiap proses. Yakobus mengajar kita soal bertekun menghadapi segala sesuatu dengan ilustrasi kehidupan petani. Seorang petani tidak segera memanen padi yang ditaburkannnya. Ia menunggu dalam sebuah proses panjang yang memakan waktu berbulan-bulan. Setelah menanam benih, ia merawat dengan memberikan pupuk, menghalau hama, memastikan kecukupan air, dan sebagainya. Semua proses yang dilalui harus dijalani dengan sabar sampai panen tiba. Bila saat panen, hasilnya mungkin tidak optimal atau bahkan gagal, ia mungkin kecewa dan sedih untuk beberapa saat, tetapi kemudian ia pun berusaha lagi. Kita percaya Allah turut berkarya dalam seluruh proses kehidupan umat-Nya. Tugas kita adalah berupaya semampu kita untuk memelihara iman dengan bertekun dan bersabar dalam tiap pergumulan. Dalam ketekunan dan kesabaran, nantikanlah kedatangan Yesus kembali! Soli Deo Gloria!!! ______________________________________________________ Renungan, 8 Desember 2019
Menantikan Kedatangan TUHAN dengan Hidup Dalam Pertobatan Zefanya 2:1-3 Bertobat berarti berhenti mengerjakan sesuatu atau hal yang selama ini dikerjakan, yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan, atau yang bertentangan dengan Firman Tuhan. Bertobat juga berarti mengerjakan apa yang sebelumnya tidak pernah dikerjakan, karena hal itu yang Tuhan ingin kita kerjakan, lakukan atau katakan. Dengan demikian hidup dalam pertobatan adalah hidup sesuai dengan kehendak Tuhan, menyangkal cara hidup yang lama, yang dibenci oleh Tuhan dan yang terancam dengan hukuman Tuhan. Masa hidup dan pelayanan Nabi Zefanya adalah masa dimana umat Tuhan tidak lagi mencari TUHAN. Mereka lebih percaya pada dewa-dewa, berhala-berhala daripada TUHAN. Sebagian dari umat TUHAN juga mempraktekkan sinkretisme, mengaku percaya dan mau setia pada TUHAN, tetapi di sisi lain juga percaya pada dewa Milkom. Tidak sedikit yang meninggalkan TUHAN dan tidak lagi mencari petunjuk TUHAN dalam menjalankan hidup mereka. Semua cara hidup di atas menimbulkan murka TUHAN. Perjanjian yang diikat TUHAN dengan mereka dilanggar. Mereka lupa sejarah, lupa identitas mereka sendiri, lupa tugas dan tanggung jawab mereka dalam Perjanjian yang diikat TUHAN dengan nenek moyang mereka, Abraham, Ishak dan Yakub. Mereka terancam sangsi hukuman untuk dikeluarkan dari Tanah Perjanjian dan tanpa perlindungan TUHAN dari murka-Nya atas dosa-dosa mereka. Betapa mengerikan, hidup dalam bayang-bayang penghukuman dan maut, tanpa pertolongan. Tetapi TUHAN adalah Allah yang setia, Ia tidak pernah menjalankan penghukuman tanpa terlebih dahulu mengingatkan mereka dan memanggil mereka untuk berbalik dari jalan mereka yang salah. TUHAN mengutus para nabi-Nya, Jurubicara-Nya, untuk mengingatkan umat-Nya tentang kesalahan mereka dan sangsi pelanggaran mereka. TUHAN memberikan jalan keluar dari kengerian penghakiman dan penghukuman-Nya yang pasti akan menimpa mereka yang tidak setia dan menolak Perjanjian-Nya, menolak diri-Nya. Dengan bertobat dari cara hidup yang lama, yang tidak mempedulikan TUHAN, mereka diarahkan pada cara hidup yang dekat dengan TUHAN, yang bergaul akrab dengan TUHAN. Bagaimana dengan hidup kita saat ini? Apakah ‘pertobatan’ masih merupakan hal yang selalu kita usahakan sesuai dengan panggilan firman-Nya? Benarkah ada perubahan yang nyata dalam hidup kita yang sejalan dengan ajaran TUHAN? Apakah cara hidup kita, tutur kata kita mengalami perubahan dan pembaharuan melalui firman-Nya? Mari kita berjaga-jaga, agar kita tidak terjerumus dalam sikap hidup yang tidak peduli dengan hal-hal rohani. Semakin makmur ekonomi kita, semakin besar godaan untuk tidak lagi bersandar pada TUHAN. Semakin besar peluang atau kesempatan untuk hidup dalam kenikmatan dan melupakan pergaulan dengan TUHAN. Semakin sulit bagi kita untuk benar-benar mengutamakan TUHAN dalam hidup kita. Carilah TUHAN! Kejarlah kekudusan, berusahalah untuk bergaul dengan TUHAN! Semakin diberkati, semakin mengarahkan hati kepada TUHAN dan mengakui Dia di atas segala pencapaian yang kita lakukan; bahwa semua itu adalah berkat dan perkenanan-Nya, bukan semata kehebatan dan kemampuan kita sendiri! Dengan demikian, kita selalu siap, kapanpun dalam penantian akan kedatangan TUHAN! Maranatha, datanglah ya TUHAN! Amin! Soli Deo Gloria!!! ______________________________________________________ Renungan, 1 Desember 2019
Menantikan Kedatangan Tuhan Dengan Hidup Dalam Terang-Nya Yesaya 2:1-5 Apa yang dapat diharapkan jika para pemimpin bangsa dan masyarakat hidup tanpa memperhatikan hukum yang berlaku? Mereka yang diharapkan untuk menegakkan hukum, mereka jugalah yang menjadi pelanggar hukum itu sendiri. Mereka yang seharusnya hidup sesuai dalam ikatan hukum yang disepakati bersama, mereka juga yang berusaha mencari celah untuk mendapatkan keuntungan dari semua pelanggaran tersebut. Jika kita hidup dalam kondisi seperti itu, mungkin sekali kita mengatakan bahwa masa depan kita suram jika kondisi masyarakat tidak berubah, jika tidak ada pemimpin yang baik yang muncul untuk mengadakan perubahan-perubahan dalam sistem masyarakat tersebut. Ironisnya, itulah kondisi hidup umat TUHAN, pada masa Nabi Yesaya melayani. TUHAN sendiri yang menilai kehidupan umat-Nya yang jauh dari keinginan-Nya. Ada penurunan standar hidup baik dalam kehidupan rohani maupun dalam hidup bermasyarakat. Relasi dengan TUHAN yang memburuk dan sebagai dampaknya, relasi dengan sesama juga semakin rusak. Ibadah-ibadah hanyalah ritual belaka. Korban-korban dibawa kepada TUHAN, hanya sebagai kebiasaan semata, yang telah kehilangan esensi relasi yang benar dengan Allah. TUHAN berkata: “Jangan lagi membawa persembahanmu yang tidak sungguh, sebab baunya adalah kejijikan bagi-Ku…perayaanmu penuh kejahatan.” (1:13); “Apabila kamu menadahkan tanganmu untuk berdoa, Aku akan memalingkan muka-Ku, bahkan sekalipun kamu berkali-kali berdoa, Aku tidak akan mendengarkannya, sebab tanganmu penuh dengan darah” (1:15). Yerusalem, “…kota yang dahulu setia sekarang sudah menjadi sundal! Tadinya penuh keadilan dan di situ diam kebenaran, tetapi sekarang penuh pembunuh.” (1:21). Kondisi hidup ditengah masyarakat seperti itu, tidaklah mudah. Yesayapun, menyatakan dalam keputus-asaannya, bahwa ia memang hidup ditengah bangsa, “…yang najis bibir.” (6). Ia menjadi bagian dari bangsa itu. Tetapi ditengah pudarnya pengharapan, TUHAN menyatakan kepada Yesaya tentang masa depan yang mulia bagi Yerusalem, bagi umat kepunyaan-Nya:
Dialah yang kita peringati dalam perayaan adven ini. Ia sudah datang, memurnikan umat-Nya dari segala dosa dan kesalahan mereka. Ia telah kembali ke Surga, tetapi Ia juga akan kembali dan menggenapi seluruh janji-Nya, menyatukan semua umat-Nya selamanya bersama-Nya! Dalam penantian itu, kita tetap hidup dalam pengajaran-Nya dalam Terang-Nya. Kita menjadi saksi-Nya selama masa penantian akan kedatangan-Nya yang kedua. Soli Deo Gloria!! ______________________________________________________ Renungan, 24 November 2019
KEKUASAAN KRISTUS MENGATASI SEGALA KUASA Kolose 1 : 15 – 23 Allah Sejati dan Manusia Sejati Yesus Kristus adalah Allah sejati yang menjadi manusia sejati. Ajaran mengenai keilahian dan kemanusiaan Kristus ini menjadi pokok perdebatan penting dalam sejarah gereja abad pertama, termasuk jemaat Kolose. Di Kolose beredar ajaran yang menyatakan bahwa Kristus memang lebih tinggi dari manusia, namun Ia bukan Allah. Ia juga bukan manusia dengan darah daging seperti kita. Tubuh kristus adalah maya (semu) karena -menurut mereka-dalam segala hal yang bersifat materi/jasmani adalah buruk/jahat. Ajaran palsu ini- yang disebut ajaran Gnostik- juga menyatakan bahwa tidak mungkin Allah menciptakan langit dan bumi, karena langit dan bumi bersifat materi dan karena itu jahat. Setiap orang Kristen seharusnya memiliki pemahaman yang jelas mengenai pokok-pokok dasar iman Kristen, yaitu keilahian dan kemanusiaan Kristus serta karya pendamaian-Nya. Kristus adalah wujud yang nyata (gambar/manifestasi) Allah yang tidak kelihatan. Di dalam Kristus diam seluruh kepenuhan Allah (yaitu seluruh sifat Allah secara utuh). Kristus adalah Allah sejati. Namun, Kristus juga manusia sejati. Dia adalah yang sulung dari segala yang diciptakan. Dia adalah yang sulung, yang pertama bangkit dari antara orang mati. Kristus adalah yang sulung, baik bagi manusia sebagai ciptaan yang fana maupun bagi manusia sebagai yang kekal (yang dibangkitkan). Keilahian dan kemanusiaan Kristus inilah yang menjamin kesempurnaan karya pendamaian-Nya. Karya pendamaian ini dimaksudkan agar kita hidup kudus dan tidak bercela dan tak bercacat dihadapan-Nya. Betapa berbahagianya kita, bila kita berpegang teguh pada iman dan pengharapan kita. Soli Deo Gloria!!! ______________________________________________________ Renungan, 17 November 2019
Konsekuensi Hidup Orang Fasik dan Orang Yang Takut Akan Tuhan Maleakhi 4:1-6 Percakapan tentang “Hari TUHAN” dalam Alkitab memiliki beberapa pengertian yang berbeda. Salah satunya dalam nas hari ini, berkaitan dengan kedatangan Tuhan Yesus yang pertama dan yang kedua. Perkataan yang disampaikan Maleakhi ini, memiliki dua aspek tersebut. Ada dua ciri yang dapat menolong kita memahami tentang “Hari TUHAN”: Yang pertama, pertobatan dan kehidupan (ay. 2-3, 6) dan yang kedua, penghakiman dan penghukuman (ay. 1). Hari TUHAN yang akan datang tersebut membawa dampak yang berbeda pada setiap orang. Sebagian akan mengalami penghukuman dan kebinasaan, dan sebagian lagi akan mendapatkan kehidupan dan sukacita. Pada akhirnya, seluruh umat manusia hanya akan dinilai dari relasi mereka dengan TUHAN. Bagi mereka yang memiliki relasi yang benar dengan TUHAN, hidup takut akan TUHAN, akan hidup selamanya. Sedangkan mereka yang tidak memilii relasi yang benar dengan TUHAN, akan mengalami kebinasaan kekal. Mengapa demikian? Mengapa Allah nampak begitu kejam? Banyak orang telah kehilangan hal yang paling penting dalam hidup mereka, yakni pengertian mengenai dirinya sendiri dan relasinya dengan TUHAN, sebagaimana yang dikehendaki TUHAN. Dosa telah menguasai manusia, Iblis dengan segala kelicikannya, telah memperdaya hati manusia dan membutakan mata manusia dengan segala yang ada di dunia ini. Berbagai keinginan manusia telah dikondisikan untuk mengeja kesenangannya semata. Suatu pengejaran ‘kesenangan’ yang tidak akan ada habis-habisnya. Tipu daya kekayaan telah memenuhi hati manusia, sehingga tidak ada lagi tempat bagi TUHAN dalam hati mereka. Padahal, TUHAN telah menyediakan jalan yang lebih baik untuk mendapatkan hidup dan sukacita yang sebenarnya. Namun manusia seringkali melupakan dan menolak jalan itu. Bukan TUHAN yang kejam, tetapi manusia yang telah memilih jalannya sendiri menentang Allah, sumber hidup yang sejati. Bukan hanya orang yang ‘tidak mengenal Tuhan’ yang seringkali menolak Tuhan, bahkan mereka ‘yang mengaku mengenal Tuhan’ sekalipun, seringkali tidak menujukkan kebenaran ‘pengakuan’ mereka itu. Untuk mereka lebih tepat dikatakan, bahwa mereka sama sekali tidak mengenal Tuhan dengan benar: "Sungguh, bodohlah umat-Ku itu, mereka tidak mengenal Aku! Mereka adalah anak-anak tolol, dan tidak mempunyai pengertian! Mereka pintar untuk berbuat jahat, tetapi untuk berbuat baik mereka tidak tahu." (Yeremia 4:22) Di tempat lain, Allah berkata: “Umat-Ku binasa karena tidak mengenal Allah…karena … melupakan pengajaran Allahmu….” (Hosea 4:6) Tegas dan keras sekali TUHAN mengatakan, bahwa ada umat yang ‘tidak mengenal-Nya’. Tidak heran jika dikemudian hari Tuhan Yesus berkata: “Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga.” (Mat. 7:21). Itu berarti kita perlu memeriksa diri kita, apakah pengakuan kita sejalan dengan sikap dan perbuatan kita? Apakah identitas kita sebagai orang percaya, dibuktikan dengan perbuatan dan tutur kata kita dalam hidup sehari-hari? Jangan sampai kita menjadi bagian dari mereka yang dimurkai TUHAN. Mari kita hidup dalam takut akan Tuhan, dengan memperhatikan Firman-Nya dan mewujudkannya dalam hidup kita sehari-hari, sehingga Hari TUHAN bagi kita bukan menjadi suatu akhir yang membinasakan, tetapi yang menghidupkan, menggenapi seluruh rencana-Nya dalam kita. Amin! Takut akan TUHAN adalah wujud pengenalan akan Allah, kasih dan ibadah yang sesuai dengan Firman-Nya.” (Ulangan 10:12) Renungan, 10 November 2019
Mewaspadai Kesesatan Menjelang Kedatangan Tuhan 2 Tesalonika 2:1-17 Sebuah dongeng anak-anak menceritakan seorang anak kecil yang berteriak kepada orang-orang di desanya, bahwa ada serigala yang datang menyerang. Ketika penduduk desa berdatangan, ternyata anak tersebut hanya bercanda. Di lain waktu, ketika si anak ini berteriak lagi, maka penduduk desa menganggap itu hanya sebuah candaan. Anak ini belajar sebuah fakta yang menyakitkan: "berhati-hatilah dalam melontarkan candaanmu," ataupun akhir-akhir ini banyak film bermunculan yang mengemukakan konsep / pengajaran adalah “ baik untuk mejadi jahat “ ataupun karena alasan tertentu melakukan kejahatan adalah sesuatu yang dapat di terima secara norma umum. Jemaat Tesalonika sedang dibingungkan oleh beberapa pengajar yang menyandarkan ajaran mereka kepada ilham roh, ataupun kutipan (yang tidak utuh) dari para rasul (1-2). Rasul Paulus menegur sikap anggota jemaat yang mudah dibingungkan oleh pengajaran palsu. Apa ciri pengajaran palsu? Yakni ketika ajaran tersebut membawa kita tidak lagi melihat kepada Allah dan kemuliaanNya, melainkan kepada upaya-upaya untuk meninggikan diri (3-5). Dalam ayat 9, Paulus menguraikan bahwa si pendurhaka akan datang dengan berbagai macam perbuatan ajaib, tandatanda dan mukjizat. Tujuan utamanya menyesatkan umat percaya agar iman mereka tidak lagi diarahkan kepada Kristus, melainkan hanya kepada apa yang tampak di hadapan mereka. Menghadapi para penyesat, pertanyaan kita adalah: Dimana kekuasaan Allah? Mengapa Allah tidak bertindak? jangan kita lupa, bahwa orang percaya adalah ciptaan baru. Ciri utama ciptaan baru ini adalah pola pikir yang tidak menggunakan kriteria dunia, tetapi mengutamakan Kristus sebagai teladan dan acuan. Allah tetap berkuasa bahkan ketika para penyesat ini 'untuk sementara diijinkan' untuk bekerja. Tetapi akan datang masanya dimana Kristus akan menghanguskan mereka dengan 'nafas mulut-Nya' (ay 8). Sebagai orang yang dipilih, dipanggil, dan dimurnikan oleh Firman Kebenaran, kita diundang untuk terus-menerus meletakkan Kristus sebagai yang utama dalam pikiran, sikap, dan hidup kita. Ini artinya firman Kebenaran Allah dijadikan landasan hidup dan tolak ukur dari kehidupan kita. Soli Deo Gloria!!! ______________________________________________________ Renungan, 03 November 2019
Belajar Mempercayai Allah Di Masa Penantian Habakuk 1:1-4; 2:1-4 Tidak sukar untuk menemukan ketimpangan yang ada di tengah masyarakat. Ketidak-adilan sosial dan kejahatan/ kelaliman yang terjadi di sekitar kita, juga bukan hal yang langka. Orang tertindas, teraniaya dan mengalami kekerasan. Perbantahan yang tidak jarang berujung pada pertikaian/ perkelahian. Semua hal itu tentu tidak terlalu mengherankan bagi kebanyakan orang, karena sifatnya yang universal di dalam kehidupan manusia. Itu sebabnya hukum menjadi penting untuk menghadirkan ‘ketertiban/ keteraturan’ dalam berbagai bidang hidup masyarakat – baik pribadi maupun bersama. Relasi umat dengan TUHAN juga demikian. TUHAN adalah sumber hukum dalam kehidupan umat-Nya. Hukum TUHAN mengatur semua relasi tersebut, dengan dasar kasih (Ulangan 6:4dst). Habakuk menjadi saksi kerusakan manusia, umat TUHAN, karena mengabaikan hukum TUHAN, mengabaikan kasih kepada Allah dan sesama. Kejahatan merajalela, ketidak adilan ada di mana-mana, penindasan, penganiayaan di setiap bagian hidup manusia. Penderitaan sebagian umat terlihat di mana-mana. Habakuk berseru-seru kepada TUHAN tentang hal itu, tapi nampaknya berdiam diri dengan dengan semua itu. Ketika TUHAN menjawab Habakuk bagaimana Ia akan menangani kejahatan umat-Nya, Habakuk menjadi lebih bingung lagi, karena TUHAN memakai bangsa lain yang lebih jahat dari umat-Nya untuk mendatangkan penghukuman itu – konsekuensi dari melupakan ‘hukum kasih’ tersebut. Mengapa TUHAN mengijinkan kejahatan untuk menghukum kejahatan? Dalam kebingungannya, Habakuk kemudian belajar untuk merendahkan diri di hadapan TUHAN, belajar untuk mempercayai hikmat dan keputusan TUHAN yang sempurna dalam menolong umat-Nya belajar tentang TUHAN dan jalan-jalan-Nya. Habakuk akhirnya mengerti bahwa iman kepada TUHAN-lah yang menolongnya ‘hidup’ dan ‘berjalan’ bersama TUHAN, dalam berbagai situasi/ keadaan. Ia belajar bahwa keadilan TUHAN tidak akan membiarkan orang yang bersalah tidak mendapatkan konsekuensinya. Bahwa baik umat TUHAN dan mereka yang bukan umat TUHAN yang dipakai untuk mendatangkan penghukuman, mereka yang jahat, tidak pernah lolos dari penghakiman-Nya. Semua hanyalah masalah waktu saja! Saatnya akan tiba, keadilan akan dinyatakan kepada semua orang yang setia menantikannya: “…namun dengan tenang akan kunantikan hari kesusahan, yang akan mendatangi bangsa yang bergerombolan menyerang kami. Sekalipun pohon ara tidak berbunga, pohon anggur tidak berbuah, hasil pohon zaitun mengecewakan, sekalipun ladang tak menghasilkan bahan makanan, kambing domba terhalau dari kurungan, dan tidak ada lembu sapi dalam kandang, namun aku akan bersorak-sorai di dalam TUHAN, beria-ria di dalam Allah yang menyelamatkan aku. ALLAH Tuhanku itu kekuatanku….” (3:16b-19a) Bagaimana dengan kita? Nas hari ini menolong kita untuk memahami bahwa tidak satupun kejahatan akan lolos dari pengadilan Allah. Mereka yang mengabaikan hukum kasih TUHAN, akan mendapat disiplin dari dari TUHAN. TUHAN dapat memakai apapun menjadi alat-Nya. Bahkan orang yang tidak benarpun dapat menjadi alat-Nya, tanpa menghilangkan penghukuman bagi mereka juga. Kedua, kita yang menyaksikan atau bahkan mengalami berbagai tidakan ketidak-adilan, penderitaan, penganiayaan – kita semua memiliki pengharapan untuk mendapatkan keadilan yang sejati. Ada pengharapan dalam Dia! Marilah kita menanti-nantikan TUHAN dalam segala hal. Dia sanggup dan selalu memperhatikan umat-Nya yang terus berharap dalam iman, dan yang mengasihi-Nya dengan segenap hati, jiwa, akal-budi dan kekuatan; mengasihi sesamanya seperti dirinya sendiri. “Orang-orang yang menantikan TUHAN mendapat kekuatan baru: mereka seumpama rajawali yang naik terbang dengan kekuatan sayapnya; mereka berlari dan tidak menjadi lesu, mereka berjalan dan tidak menjadi lelah.” (Yes. 40:31) Soli Deo Gloria!!! ______________________________________________________ Renungan, 27 Oktober 2019
FIRMAN TUHAN MERUPAKAN PELITA HIDUP "Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku." Mazmur 119:105 Hal utama apa yang diperlukan semua orang ketika berjalan di kegelapan yang pekat? Bukan uang, bukan mobil, bukan apa pun yang mereka butuhkan, hanya pelita atau terang. Pelita umumnya dipakai orang sebagai alat penerang dalam keadaan sangat darurat. Pelita atau terang akan membantu kita melihat atau memandang sekitar, dan menuntun kita ke jalan dan arah yang benar sehingga langkah kaki kita tidak akan terantuk batu atau terperosok ke lubang yang dalam, dan kemungkinan besar kita pun tidak akan tersesat. Dunia, tempat di mana kita menjalani hidup ini sedang diliputi kegelapan di segala aspek, sebab "...Kita tahu, bahwa kita berasal dari Allah dan seluruh dunia berada di bawah kuasa si jahat." (1 Yohanes 5:19). Karena berada di dalam dunia yang gelap banyak orang dihantui rasa was-was dan ketakutan oleh karena arah hidupnya tidak jelas dan serba tidak pasti. Syukur kepada Tuhan, meski berada di tengah dunia yang gelap, sebagai orang percaya kita bukanlah orang-orang yang hidup dalam kegelapan tersebut, "karena kamu semua adalah anak-anak terang dan anak-anak siang. Kita bukanlah orang-orang malam atau orang-orang kegelapan." (1 Tesalonika 5:5). Kita disebut sebagai anak-anak terang karena kita memiliki firman Tuhan sebagai pelita bagi kaki kita dan terang bagi jalan kita, sehingga meskipun kita berjalan di tengah dunia yang gelap jalan kita adalah terang seperti siang hari, sebab firmanNya selalu menerangi dan menuntun langkah kita seperti perjalanan umat Israel yang senantiasa disertai tiang awan dan tiang api. Bagi setiap orang yang senantiasa berjalan di dalam firman Tuhan apa yang dikerjakan dan dilakukan akan terlihat terang, sebab "Bila tersingkap, firman-firmanMu memberi terang," (Mazmur 119:130), karena bermanfaat untuk mengajar, menyatakan kesalahan, memerbaiki kelakuan dan mendidik kita dalam kebenaran, sehingga kehidupan kita akan selalu diperbaharui dari hari ke sehari, hingga semakin berkenan kepada Tuhan. "Karena perintah itu pelita, dan ajaran itu cahaya, dan teguran yang mendidik itu jalan kehidupan," Soli Deo Gloria!!! Renungan, 20 Oktober 2019
Pujilah Tuhan Karena Pemulihan-Nya Yoel 2:18-27 Kapan terakhir kali saudara menerima pujian atau ucapan terimakasih dari seseorang? Coba ingat kembali peristiwa itu. Mengapa orang itu memberikan pujian kepada saudara. Apa alasan orang itu memuji saudara. Apakah karena orang itu telah menerima kebaikan saudara, sehingga ia berterimakasih kepada saudara dan memuji saudara? Apakah karena ia mendengar tentang perbuatan baik saudara kepada seseorang? Mungkinkah ia telah menerima janji saudara untuk sesuatu hal yang akan saudara lakukan baginya? Semua hal itu dapat mendatangkan pujian, yang tulus dari orang lain. Di sisi lain kita diperingatkan untuk tidak mencari pujian yang sia-sia dari sesama kita, sebab hidup hanya untuk mendapatkan pujian seringkali justru membawa seseorang tersesat, jauh dari kebenaran. Tetapi hidup benar selalu mendatangkan pujian dari mereka yang mencintai kebenaran dan terutama dari Tuhan sendiri. Pengalaman dengan Tuhan selalu menghasilkan pujian dari orang percaya – kecuali mereka yang tidak tahu/lupa berterimakasih dan memuji kebaikan dan kasih-Nya pada mereka. Pengalaman dengan Tuhan tidak terbatas pada hal-hal yang kelihatannya luarbiasa dan demonstratif. Tetapi juga dalam janji-janji-Nya, yang belum nampak oleh mata sekalipun. Pada masa Nabi Yoel, umat TUHAN telah mengalami teguran yang keras dari TUHAN. TUHAN mendatangkan bencana belalang yang dahsyat, yang datang beruntun, yang menghabiskan seluruh tanaman sumber penghidupan mereka. Akibatnya, bukan hanya perekonomian umat yang terkena dampak, tetapi seluruh bidang kehidupan mereka, termasuk ritual ibadah mereka terhenti karena bahan-bahan pendukung ibadah musnah semua. Namun TUHAN adalah Allah yang “…pengasih dan penyayang, panjang sabar dan berlimpah kasih setia….” Yang tidak membiarkan umat-Nya menderita selamanya. Ia memanggil mereka untuk bertobat meninggalkan kesalahan mereka untuk mendapatkan pemulihan dari-Nya. Ketika umat TUHAN berseru-seru kepada-Nya, TUHAN menjawab mereka. Ia langsung menurunkan hujan awal, untuk mengatasi kekeringan dan menghalau hama belalang dari seluruh daerah mereka, serta berjanji untuk memulihkan segala sesuatu. Tindakan awal dan janji TUHAN itulah yang menjadi dasar sukacita dan sorak-sorai umat TUHAN; walaupun mereka belum menikmati sepenuhnya janji tersebut. TUHAN memerintahkan mereka untuk bersukacita dan bersorak-sorai karena janji-Nya. Nas hari ini mengingatkan kita bahwa pujian dan sukacita dapat kita alami, sekalipun kenyataan dari janji tersebut masih jauh di depan sana, di masa yang akan datang; tetapi awal janji pemulihan itu sudah mulai dialami. Itulah sukacita iman! Sukacita karena kita percaya bahwa TUHAN sanggup untuk menggenapi seluruh rencana dan janji-Nya, yang sudah kita alami sebagiannya. Sukacita itu membawa kita memuji TUHAN, memuji kebesaran-Nya, mengakui kesanggupan-Nya, kuasa-Nya yang tak terbatas untuk mewujudkan isi hati-Nya atas kita semua. Bagaimana dengan kita hari ini? Adakah kita juga mendengarkan panggilan-Nya, untuk meninggalkan cara hidup yang lama dan kembali setia menjadi pelaku Firman dan bersukacita, bersorak-sorai karena janji pemulihan yang sudah kita terima sebagiannya, sedang kita alami dan yang akan kita terima sepenuhnya, ketika Tuhan Yesus datang kembali? Pujian yang lahir dari pengharapan adalah pernyataan iman bahwa Ia sanggup mewujudkan janji-Nya itu pada kita! Soli Deo Gloria!!! ______________________________________________________ Renungan, 13 Oktober 2019
RINDU YANG TIDAK PERNAH MENGECEWAKAN M azmur 84:1-13 Setiap kita pernah merasakan kerinduan kepada seseorang yang kita sayangi misalnya : pasangan, anak, orang tua kita, - tidak selalu adalah keluarga - tentu perasaan itu bisa muncul karena kita jarang bertemu dengan orang-orang tersebut dan kalau pun ingin bertemu, kita hanya bisa bertemu di suatu waktu dan tempat. Perasaan rindu akan hadirat TUHAN di lukiskan oleh pemazmur “ Sebab lebih baik satu hari di pelataran-Mu dari pada seribu hari di tempat lain; lebih baik berdiri di ambang pintu rumah Allahku dari pada diam di kemah-kemah orang fasik." Mazmur 84:11 Perlukah kita pergi ke gereja? Perlukah kita menyediakan waktu untuk datang beribadah ke gereja setiap hari Minggu? Ya, tentu saja perlu... Tapi masih banyak orang Kristen yang mengabaikan jam-jam ibadah dan tidak lagi pergi ke gereja, apalagi kalau misalnya tokonya lagi ramai pembeli, sayang kalau ditutup. Bagi orang percaya beribadah ke gereja adalah tugas dan kewajiban yang tidak boleh diabaikan dan itu adalah sebuah keharusan. Pergi beribadah ke gereja adalah perintah Tuhan dan harus ditaati. Tertulis: "Tetapi tempat yang akan dipilih Tuhan, Allahmu, dari segala sukumu sebagai kediaman-Nya untuk menegakkan nama-Nya di sana, tempat itulah harus kamu cari dan ke sanalah harus kamu pergi." (Ulangan 12:5). Bila Tuhan memberikan perintah tidak ada alasan bagi kita untuk melanggarnya. Di dalam gereja Tuhan telah menyediakan berkat-berkat bagi umatNya. Oleh karena itu firman Tuhan menasihatkan, "Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasihati, dan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat." (Ibrani 10:25). Setiap orang percaya yang aktif dan setia beribadah ke gereja adalah orang-orang yang berbahagia karena di dalam rumah Tuhan banyak berkat. Permazmur berkata, "Berbahagialah orang-orang yang diam di rumah-Mu, yang terus-menerus memuji-muji Engkau." (Mazmur 84:5). Ada urapan dan berkat yang dicurahkan Tuhan bagi perhimpunan orang-orang yang berkumpul bersehati di baitNya yang kudus, "Sebab ke sanalah Tuhan memerintahkan berkat,..." (Mazmur 133:3b). Adalah rugi besar jika kita malas untuk pergi beribadah ke gereja! Selain ada berkat-berkat yang melimpah, di rumah Tuhan kita akan beroleh jawaban atas persoalan dan pergumulan yang sedang terjadi dalam kehidupan kita. Di rumah Tuhan kita bawa beban yang ada dan kita serahkan kepada Dia. Tuhan berkata, "Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat. Aku akan memberi kelegaan kepadamu." (Matius 11:28). Ketika kita memuji dan mengagungkan nama Tuhan Di situlah kita beroleh kekuatan baru dan penghiburan. Soli Deo Gloria!!! ______________________________________________________ Renungan, 06 Oktober 2019
Memuji dan Memuliakan Allah Mazmur 66:1-12 Suatu pujian bisa saja diberikan seseorang atau sekelompok orang kepada satu pribadi atau beberapa orang sekaligus. Biasanya suatu pujian diberikan karena suatu perbuatan atau suatu pencapaian seorang atau kerja suatu tim yang dinilai berhasil dan membawa manfaat bagi seorang atau banyak orang lainnya. Seorang yang dinilai berjasa pada suatu perusahaan atau seorang pelajar yang berhasil menyelesaikan sekolahnya dengan sangat baik, akan mendapatkan pujian dan penghargaan dari perusahaan atau sekolahnya. Jadi suatu pujian yang diberikan selalu punya alasan atau landasan yang jelas. Menyebutkan bahwa seseorang baik dan hebat, pada saat orang tersebut tidak melakukan hal yang demikian, malah menimbulkan efek yang sebaliknya; suatu ejekan. Hal yang sama berlaku juga dalam relasi kita dengan TUHAN. Pujian yang benar selalu merupakan hasil dari pengalaman nyata dengan Tuhan. Tanpa pengalaman nyata dengan TUHAN, pujian kita kepada TUHAN hanyalah suatu ungkapan kosong, suatu tindakan ikut-ikutan saja. Seringkali orang percaya terjebak dengan hal ini, ketika ia datang beribadah ke Gereja atau ketika mengikuti suatu persekutuan. Banyak orang Kristen yang memuji TUHAN hanya karena Liturgos mengajak mereka menyanyikan lagu-lagu pujian yang memang sudah terpampang di layar depan. Mereka hanya ikut menyanyikan lagu-lagu pujian tersebut, tanpa sepenuhnya menyadari apa alasan mereka ikut memakai lagu-lagu tersebut sebagai sarana untuk mengungkapkan isi hati mereka kepada Tuhan. Bayangkan, seorang yang sedang mengalami masa sukar, diajak untuk menyanyikan lagu-lagu sukacita yang telah dipersiapkan sebelumnya oleh pemimpin pujian di Gereja. Kalau orang itu tidak dapat menemukan alasan mengapa ia ikut menyanyikan lagu sukacita, sementara ia dalam kesulitan, maka sekalipun ia menyanyi, ia tidak benar-benar memuji Tuhan saat itu. ia hanya sekedar ikut tanpa punya alasan pengalaman yang nyata dengan Tuhan untuk bersukacita, sekalipun sedang mengalami masa sulit. Mazmur hari ini mengajak semua bangsa untuk memuji TUHAN, karena ia mengalami kedahsyatan dan keajaiban dan kebaikan TUHAN secara pribadi dan juga secara kolektif/ bersama-sama dengan umat TUHAN lainnya. Pengalaman-pengalaman seperti itulah yang mendorong pemazmur untuk mengajak bangsa-bangsa seluruh bumi untuk memuji-muji TUHAN. Ada kebanggaan sekaligus penghormatan yang dalam terhadap TUHAN dan semua perbuatan-Nya. Ada pengakuan yang tulus tentang kedaulatan TUHAN, kebaikan TUHAN bagi mereka. Setiap ujian, masalah, kehinaan, kebuntuan, dan semua pengalaman yang tidak menyenangkan, telah dialami mereka – dalam ijin TUHAN. Namun, pada akhirnya, mereka menerima kebaikan TUHAN. Bagaimana pengalaman kita dengan TUHAN? Dapatkah kita menyebutkan semua itu sebagai dasar atau landasan kita memuji dan memuliakan Dia? Apakah kita memiliki cukup kebanggaan terhadap Allah, kedaulatan-Nya atas kita, dan semua rancangan damai sejahtera-Nya atas kita? Akankah kita menceritakan kebaikan-kebaikan-Nya dan tidak malu/ sungkan untuk mengajak orang-orang lain memuji dan memuliakan nama-Nya? Marilah kita teruskan pertumbuhan iman kita, mengalami Allah dalam setiap langkah hidup kita, sehari-hari, agar kita dapat dengan tulus hati dan dengan sesungguhnya memuji dan memuliakan TUHAN. Doa: Biarlah hati kami dipenuhi dengan ungkapan syukur, karena kami benar-benar mengalami kebaikan-Mu, Ya Tuhan! Biarlah kami menceriterakan kebaikan-kebaikan-Mu. Amin! Soli Deo Gloria!!! ______________________________________________________ Renungan, 29 September 2019
Faith Begin @Home Ulangan 6:4-7 Kitab Ulangan, sesuai dengan namanya, menyatakan berbagai pengulangan dari Firman TUHAN yang sudah pernah disampaikan sebelumnya kepada umat TUHAN. Umat yang saat itu berada di seberang Yordan, sudah siap memasuki Tanah yang dijanjikan TUHAN kepada nenek moyang mereka. Perlu diingat bahwa umat yang ada di situ adalah keturunan Israel yang seluruhnya lahir di Padang gurun, kecuali Yosua, Kaleb dan Musa. Seluruh orang Israel yang lahir di Mesir, sudah tidak ada lagi, mereka semua menjadi tua dan meninggal disepanjang perjalanan Padang gurun – karena ketidak-percayaan mereka terhadap TUHAN dan perkataan-perkataan TUHAN. Jadi melalui Musa, TUHAN kembali mengingatkan hal-hal penting berkaitan dengan Perjanjian-Nya dengan Abraham, Ishak dan Yakub. TUHAN menyegarkan kembali ingatan mereka bagaimana relasi mereka dengan TUHAN dan bagaimana mereka harus menjalankan hidup mereka sebagai umat Perjanjian TUHAN. TUHAN menyatakan keberlanjutan Perjanjian-Nya dengan umat-Nya melalui Kitab Ulangan ini. Untuk memelihara keberlanjutan Perjanjian itulah, TUHAN mengingatkan setiap orangtua, orang dewasa untuk pertama-tama mengasihi TUHAN dengan segenap hati mereka, dengan segenap jiwa mereka dan dengan segenap kekuatan mereka. Perintah tersebut haruslah ada dalam hati mereka untuk dilakukan dalam hidup sehari-hari mereka, untuk selanjutnya dapat mereka ajarkan berulang-ulang dan percakapkan kepada anak-anak mereka dimanapun mereka berada. Keberlanjutan (kontinyuitas) Perjanjian antara TUHAN dan umat-Nya, dimulai dan dikembangkan, pertama-tama dalam konteks keluarga – di rumah, di jalan, di manapun orangtua dan anak berada; dan selanjutnya dalam konteks hidup komunitas orang percaya. Di beberapa negara di dunia ini, pendidikan iman kepada anak-anak dipandang sebagai suatu pembodohan dan tindakan menghambat perkembangan otonomi anak dalam menentukan hidup mereka selanjutnya. Mereka berpendapat bahwa pendidikan agama dan konsep tentang Tuhan, bertentangan dengan pertumbuhan dan perkembangan intelektualitas seseorang. Hal ini jelas suatu penyesatan! Sejarah dan kenyataan saat ini jelas sekali menunjukkan hal yang sebaliknya. Justru dengan mengenal Tuhan, seseorang dilengkapi dengan pikiran yang kreatif dan kritis. Takut akan TUHAN adalah permulaan hikmat dan pengetahuan. TUHAN bahkan memerintahkan untuk mengasihi-Nya dengan segenap akal budi seseorang, sedemikian dalam segala hal yang dilakukan seseorang dengan akal budinya, ia tidak lepas dari pengabdiannya kepada Tuhan, yang menciptakan segala sesuatu. Intelektualitas tanpa Tuhan, bukan hanya menyimpan potensi ancaman terhadap sesamanya, tetapi terhadap apapun yang ada disekitarnya. Tanpa Tuhan, maka dirinyalah yang menjadi penentu semua keputusan dan tindakannya. Betapa mengerikan! Mendidik anak dalam iman, harus dilakukan dengan setia. Setiap penyampaian – baik secara verbal (dengan kata-kata) maupun non-verbal (dengan contoh/ teladan hidup) – wajib dilaksanakan dengan penuh pengabdian kepada Tuhan dan kepada umat-Nya. Pikiran dan hati setiap orangtua-pendidik, hanya tertuju kepada Tuhan dan kehendak-Nya bagi anak-anak mereka, karena setiap usaha membawa anak-anak dalam kebenaran Tuhan, tidak lain adalah keinginan Tuhan sendiri. Pertanggungan-jawab orangtua, bukan kepada diri mereka sendiri atau kepada keluarga besar mereka, atau kepada gereja saja, tetapi terutama kepada Tuhan, Sang pemilik Perjanjian itu. Mari – sebagai orang tua – kita memperhatikan dengan benar tugas dan tanggung-jawab mulia yang dipercayakan kepada kita ini. Sebagai orang muda, mari kita mempersiapkan diri, melengkapi dan melatih diri kita hidup dengan kebenaran-Nya, sehingga jika tiba saatnya, kita siap menjadi orangtua yang baik dalam membimbing dan melanjutkan Perjanjian Kekal TUHAN, kepada anak-anak kita kelak. Tuhan memberkati rumah/ keluarga kita semua! Amin! Soli Deo Gloria!!! ______________________________________________________ Renungan, 22 September 2019
Fight the Good Fight “ Fair Game “ adalah sebuah semboyan dalam pertandingan olah raga, bahkan menjadi sebuah tuntutan dalam suatu pertandingan, akan tetapi dalam banyak kali pertandingan olah raga yang kita saksikan, fair game di nodai dengan berbagai macam kecurangan demi mencapai suatu kemenangan. Pertandingan olahraga yang awalnya sportif kin lambat laun mulai kehilangan sportivitasnya. Kita juga (baik secara sadar maupun tidak sadar) harus bertanding dalam suatu pertandingan iman. Perbedaannya adalah bahwa kita harus bertanding dalam pertandingan dengan cara-cara yang benar (ay. 12a). Kita tidak boleh bertanding dengan kecurangan dan motivasi yang salah. Mengapa demikian? Karena hadiah dari pertandingan tersebut adalah hidup yang kekal (ay. 12b). Alasan kedua adalah karena kita bertanding tidak sendiri, melainkan ditonton oleh begitu banyak saksi yang melihat pertandingan kita (ay. 12c). Oleh karena itu sudah sepantasnya kita harus bertanding dengan benar. Bertanding di sini tidak sama artinya dengan bertanding dalam pertandingan pada umumnya di dunia ini. Kita tidak bertanding (dalam artian mencoba mengalahkan orang lain) dengan orang lain, tetapi lebih bertanding dengan diri kita sendiri, apakah kita mampu hidup sesuai dengan standar Firman Tuhan ataukah kita justru kalah dan menyerah dengan sifat daging kita sendiri? Selain itu, kita juga sekaligus bertanding dengan iblis, apakah kita mampu menang terhadap godaan iblis, atau kita justru menyerah kepada godaan iblis? Paulus menyarankan agar kita menjauhi hal-hal yang duniawi, dan di sisi lain kita mengejar keadilan, ibadah, kesetiaan, kasih, kesabaran, dan kelembutan (ay. 11),. Ini adalah kunci agar kita dapat menang dalam pertandingan kita. Ingat bahwa Tuhanlah yang menjadi “wasit” dalam pertandingan kita, dan ketika kita bertanding di hadapan Tuhan, maka kita harus melakukan pertandingan tersebut dengan aturan yang Tuhan miliki, bukan aturan kita sendiri. Soli Deo Gloria!!! ______________________________________________________ Renungan 15 September 2019
Membentuk Hati Anak Amsal 22:6 Tanpa kita membentuk hati anak-anak kitapun, hati mereka tetap akan terbentuk oleh apapun disekitar mereka. Betapa menyedihkan suatu saat kita baru tersadar bahwa anak-anak kita sangat minim sekali mengalami pembentukan dari kita sebagai orangtua mereka. Mereka lebih dekat dengan teman, bahkan dengan teman-teman virtual mereka. Teman-teman online mereka, fans mereka di media-media sosial. Sebab hampir setiap hari dan dengan banyak waktu mereka berada di depan layar handphone mereka melihat-lihat, tertawa, sedih, marah dan menyerap banyak hal, mencontoh banyak hal dari kekaguman mereka pada orang-orang yang belum tentu memiliki nilai-nilai yang sama dengan kita. Amsal 22:15, mengatakan: “Kebodohan melekat pada hati orang muda, tetapi tongkat didikan akan mengusir itu dari padanya”. Anak-anak muda menyerap apapun yang ada disekitar mereka, hal-hal yang menarik mereka, yang membangkitkan rasa ingin tahu dalam diri mereka. Mereka bahkan tidak hanya berhenti sampai mengetahui sesuatu, tetapi juga ingin sekali mengalami hal yang baru mereka ketahui. Tidak jarang anak-anak muda yang bermasalah hanya karena terjebak dengan kecerobohannya, mencoba-coba hal yang jelas-jelas melanggar hukum dan norma-norma susila masyarakat. Mereka kehilangan tahun-tahun mereka, karena harus mendekam di penjara atau di panti-panti rehabilitasi narkoba. Belum lagi mereka yang harus memasuki pernikahan dini, hanya karena meniru-niru kelakuan yang tidak baik. Membentuk hati anak, tidak hanya terjadi di rumah oleh orang-orang rumah, terutama orangtuanya. Semakin besar seorang anak, ada orang lain yang terlibat dalam pembentukan hatinya, hidupnya. Lingkungan sekolah, gereja, masyarakat, akan mengambil tempat mereka masing-masing dalam membentuk hati seorang anak. Makin luas lingkup pergaulannya, makin banyak nilai yang berbeda-beda yang akan dijumpai anak. Anak akan berusaha belajar mengenal dunia sekitarnya dan apa perannya di dunia ini saat ini dan nanti. Bagaimanakah anak tersebut akan memilah nilai-nilai yang setiap hari dijumpainya di lingkungan masyarakat sekitarnya, keluarga besarnya, sekolahnya, gereja? Siapakah yang akan menolongnya, membimbingnya untuk mengambil keputusan dan menetapkan bagi dirinya, hal yang baik dan benar, yang sesuai dengan nilai-nilai Kerajaan Allah? Bagaimana anak diyakinkan bahwa nilai-nilai yang diajarkan kepadanya adalah Kebenaran yang tertinggi, yang relevan dengan zamannya? Waktu seorang anak dibentuk dalam keluarga sangatlah singkat. Seringkali sebagai orangtua kita terlena dengan segala kesibukan kita, kita tidak sadar bahwa kesempatan kita membentuk hati anak-anak sangatlah singkat. Maz. 103:3 mengatakan: “…keremajaanmu seperti embun”. Embun yang segera sirna seiring terbitnya matahari. Tiba-tiba kita tersadar bahwa masa remaja mereka sudah lewat, masa emas untuk memperkenalkan jalan Tuhan kepada mereka, masa dimana banyak diantara anak-anak dengan kesadaran penuh membuka hati bagi Tuhan dan bersedia untuk berjalan di jalan Tuhan seumur hidup mereka. Jangan sia-siakan waktu yang dianugerahkan Tuhan kepada kita. Mari kita menggunakan setiap kesempatan yang diberikan kepada kita untuk membentuk hati anak-anak kita. Mungkin masa kesempatan emas itu sudah lewat, sekalipun demikian selalu ada pengharapan di dalam Tuhan. Selagi mereka ada dekat dengan kita, selagi kita dapat berbicara, berkomunikasi dengan mereka, mari kita gunakan, kita jadikan setiap kesempatan itu sebagai kesempatan berharga untuk membimbing, memberikan teladan hidup dan mewariskan iman yang hidup kepada generasi kita yang akan datang. Tuhan kiranya menolong kita semua. Amin Soli Deo Gloria!!! ______________________________________________________ Renungan, 8 September 2019
MOM and DAD @HOME Dalam menjalani kehidupan perkawinan setiap pasangan pasti memiliki impian- impian yang hendak diwujudkan bersama pasangannya. Impian itu adalah sebuah keluarga yang harmonis, diberkati dan dipenuhi oleh kebahagiaan. Memang untuk mewujudkan impian tersebut tidak semudah membalikkan telapak tangan, namun hal itu juga bukanlah perkara yang mustahil asalkan kita mau menapaki hari-hari bersama dengan Tuhan. Dalam Mazmur 128 ini pemazmur memberikan dasar utama untuk memiliki keluarga yang diberkati dan berbahagia. Dasar itu adalah takut akan Tuhan dan hidup menurut jalan yang ditunjukkan-Nya (ayat 1). Amsal 14:26 mengajarkan kepada kita : "Dalam takut akan TUHAN ada ketenteraman yang besar, bahkan ada perlindungan bagi anak-anak-Nya." Takut akan Tuhan merupakan unsur penting dalam kehidupan orang percaya. Tanpa rasa takut akan Tuhan seseorang akan cenderung berpikir, berbicara dan berbuat menurut kehendak diri sendiri. Alkitab memperingatkan, "Janganlah engkau menganggap dirimu sendiri bijak, takutlah akan TUHAN dan jauhilah kejahatan;" (Amsal 3:7). Setelah meletakkan dasar kebahagiaan keluarga pada takut akan TUHAN, seorang kepala keluarga haruslah bekerja dan menggunakan upah dari hasil pekerjaan untuk kehidupan rumah tangga-nya – serta menolak yang bukan dari hasil jerih payahnya – (ayat 2 ) “ Apabila engkau memakan hasil jerih payah tanganmu, berbahagialah “. Dengan demikian suami dan isteri akan mampu menjalankan perannya sesuai dengan firman Tuhan, saling mendukung dan menguatkan sehingga mampu membawa anak-anak semakin mengasihi Tuhan melalui teladan hidup yang ditunjukkannya. Dengan kata lain, kebahagian suatu keluarga hanya dapat di peroleh melalui takut akan Tuhan serta senantiasa menerapkan prinsip-prinsip firman Tuhan dalam kehidupan sehari-hari. “ Kiranya TUHAN memberkati engkau dari Sion, supaya engkau melihat kebahagiaan Yerusalem seumur hidupmu, dan melihat anak-anak dari anak-anakmu! Damai sejahtera atas Israel! “ Mazmur 128:5 - 6 ______________________________________________________ Renungan, 1 September 2019
Starting Faith@Home: God Among Us Lukas 10:38-40 Suatu sekolah Kristen mengadakan riset diantara para siswa mereka berkaitan dengan relasi orangtua dan anak-anak yang disekolahkan di sekolah tersebut. Hasil riset itu menunjukkan bahwa 90% dari anak-anak menyatakan bahwa orangtua adalah role-model mereka, atau teladan hidup mereka. 80% lebih mengatakan bahwa mereka ke gereja bersama orangtua mereka. 74% mengatakan bahwa orangtua mereka adalah pekerja keras dan menopang keuangan keluarga mereka. 59% dari anak-anak itu mengatakan bahwa orangtua mereka memiliki karakter rohani yang baik. Dan yang terakhir, 34% dari siswa yang mengatakan bahwa orangtua mereka mendorong mereka untuk makin dekat dengan Tuhan. Dengan kondisi seperti itu, kita dapat mengerti bahwa anak-anak merasa bahwa orangtua adalah tempat dimana mereka mendapatkan panduan hidup. Mereka merasa aman dan ingin menjadi seperti orangtua mereka, yang bertanggung-jawab memenuhi semua kebutuhan mereka selama ini dan yang juga mengajak mereka untuk ke gereja bersama-sama. Tetapi hal yang memprihatinkan adalah: orangtua yang menjadi role-model atau teladan dari 90% anak-anak, hanya 2/3 dari mereka yang dinilai memiliki karakter yang baik, dan hanya 1/3 anak yang merasa orangtua mereka mendorong mereka makin mengenal Tuhan. Itu berarti sebagian besar anak tidak merasa didorong oleh orangtua untuk makin dekat kepada Tuhan. Apa yang menyebabkan orangtua kurang mendorong anak-anak mereka memiliki kedekatan dengan Tuhan? Mengapa peningkatan kedekatan anak dengan Tuhan kurang mendapat perhatian serius dari orangtua? Seperti peristiwa Maria dan Marta dalam nas yang dibahas hari ini, kehadiran Tuhan Yesus dalam rumah, seringkali disalah-pahami oleh banyak orang Kristen. Tuhan Yesus sedemikian diagungkan dan disembah dalam rumah, dilayani dengan segala cara, tetapi tidak dengan menyediakan tempat bagi-Nya untuk menyampaikan Firman-Nya. Kita lebih mirip sikap Marta yang menerima Yesus dalam rumahnya, kemudian menjadi sibuk sekali dengan banyak hal, demi melayani Yesus. Padahal, Tuhan sendiri mengatakan bahwa Ia datang untuk melayani bukan untuk dilayani. Sikap Marta yang sibuk sekali mempersiapkan segala sesuatu untuk Tuhan dan murid-murid-Nya, ternyata telah menyita banyak sekali waktunya yang seharusnya dapat dipakai untuk bersekutu langsung dengan Tuhan. Kita perlu menghargai kehadiran Yesus dalam rumah kita, dengan memberi-Nya ruang dalam keluarga kita untuk menyampaikan isi hati-Nya. Kita perlu mencontoh Maria yang telah memilih yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya. Program Faith@home yang dicanangkan baru-baru ini oleh GKK, bertujuan untuk menolong setiap keluarga jemaat memulai percakapan rohani dalam keluarga masing-masing. Percakapan rohani yang dimaksud adalah cerita-cerita yang berkaitan dengan iman Kristen, di mana orangtua tidak sungkan menceritakan pengalamannya dengan Tuhan kepada orang seisi rumah, sehingga setiap anggota keluarga mulai melihat dengan jelas bahwa Tuhan Yesus diutamakan dalam rumah atau kehidupan keluarga itu, dan bahwa Tuhan Yesus hidup dan diagungkan ditengah-tengah keluarga. Pada tahapan lebih lanjut, setiap keluarga jemaat dapat membentuk ibadah keluarga yang sesuai dengan kondisi keluarga masing-masing, di mana Tuhan Yesus memiliki tempat yang sentral di tengah keluarga. Harapan kita bersama, beberapa tahun ke depan, kita akan menemukan keluarga-keluarga jemaat yang sungguh-sungguh Kristiani, yang dibangun di atas dasar yang kokoh dan yang secara sadar dan intensional sedang membentuk generasi jemaat Tuhan yang mengasihi Tuhan, dekat dengan Tuhan dan punya hati yang sungguh dalam pelayanan. Keluarga-keluarga Kristen yang imannya tetap teguh di tengah perubahan dan tantangan zaman. Keluarga-keluarga Kristen yang setia kepada Tuhan dan berdampak kepada lingkungan sekitarnya. Mari kita siapkan hati kita, bersama-sama mewujudkan kehidupan keluarga yang menempatkan Yesus Kristus sebagai pusat kehidupan sehari-hari. Tuhan kiranya menolong kita semua! Amin! Soli Deo Gloria!!! ______________________________________________________ Renungan, 25 Agustus 2019
Utamakanlah Kehendak Allah! Lukas 13:10-17 Istilah munafik dalam Alkitab, berasal dari istilah Yunani yang berarti: aktor panggung, berpura-pura, atau seorang yang mengakui kepercayaan-kepercayaan atau pendapat-pendapat yang dia sendiri tidak jalani, demi menutupi perasaan atau motifnya yang sesungguhnya. Dengan kata lain sikap munafik adalah ketidak-serasian antara apa yang dinyatakan seseorang di hadapan orang lain dan yang sesungguhnya mereka lakukan di belakang. Kemunafikan selain merugikan diri sendiri, juga merugikan orang lain yang ada disekitarnya, memmbebani orang lain dengan hal yang mereka sendiri tidak dapat lakukan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Suatu pembohongan publik. Peristiwa pelepasan wanita yang terikat oleh roh jahat selama 18 tahun itu, membukakan topeng yang selama ini dilakukan oleh para pemimpin-pemimpin agama dan juga kepala rumah ibadah pada waktu itu. Para pemimpin seringkali menuntut umat untuk bersikap sesuai hukum, yang mereka sendiri tidak lakukan sepenuhnya. Mereka menuntut supaya umat tidak melakukan kegiatan apapun untuk menghormati Sabat, tetapi mereka sendiri tidak melakukan tuntutan itu ketika menyangkut kepentingan mereka. Mereka memberi pengecualian tertentu bagi mereka sendiri, tetapi tidak bagi umat Tuhan. Tuhan Yesus menegur keras sikap yang seperti itu. Ia membukakan kesalahan mereka selama ini dan menekankan prinsip yang benar dalam menghidupi kebenaran Allah. Jika mereka melepaskan ikatan sapi dan ikatan keledai pada hari Sabat untuk memberi minum atau merawat hewan peliharaan mereka, maka terlebih lagi, wanita yang terikat selama 18 tahun itu. Setiap kita tidak kebal terhadap penyakit munafik ini. Untuk mengetahui apakah kita sedang terpapar oleh penyakit munafik, kita perlu memeriksa hidup kita di hadapan Tuhan Yesus Kristus dan Firman-Nya, oleh pertolongan Roh Kudus. Mulai dengan bertanya: “Apa yang saya klaim selama ini sebagai pengikut Tuhan Yesus Kristus?”, “Benarkah saya menjalankan apa yang saya percaya dan akui selama ini?” Mungkin sekali kita akan menemukan beberapa hal dalam hidup kita yang sudah sesuai dengan pengakuan kita selama ini, dan juga beberapa hal yang belum sesuai dengan pengakuan kita. Mungkin kita diingatkan bahwa kita belum melakukan apa yang kita sudah janjikan di hadapan Tuhan atau kepada teman, saudara, keluarga dan lain sebagainya; namun ternyata, dihadapan orang lain kita menampilkan diri seolah sudah tidak ada masalah lagi yang perlu dilakukan. Itulah kemunafikan, yang bisa menyusup dalam hidup orang percaya sekalipun. Kita memerlukan teguran, nasihat dari Tuhan untuk menyadarinya dan mengusahakan hidup dalam integritas – satu dalam kata dan perbuatan. Untuk itu kita sangat perlu kekuatan dari Tuhan untuk melakukan perubahan-perubahan. Kekuatan untuk merendahkan diri, untuk memiliki kerendah-hatian dalam menerima teguran dan nasihat yang membangun terus-menerus, supaya dapat mengenali/ mendiagnosa penyakita munafik tersebut dan terlepas daripadanya. Doa: Tuhan, lihatlah kami, singkapkanlah semua yang terselubung, supaya kami layak di hadapan-Mu! Amin! Soli Deo Gloria!!! ______________________________________________________ Renungan, 18 Agustus 2019
Waspada Terhadap Kepalsuan Yeremia 23:9-40 Kita hidup di zaman dimana kepalsuan seringkali bukan masalah, tetapi justru merupakan solusi untuk membantu dan meringankan kehidupan manusia. Pengetahuan dan kemampuan teknologi manusia saat ini memungkinkan manusia membuat bagian-bagian tubuh manusia dari berbagai bahan yang ada disekitar kita, mulai dari hal-hal kecil sampai ke hal-hal yang luarbiasa rumitnya. Misalnya, bulu mata palsu, rambut, tangan, kaki, dan jantung buatan. Bahkan saat ini, juga sudah ada “kecerdasan buatan’ atau ‘Artificial Intelligence’ (AI), yang dibuat ‘dalam rupa manusia’, persis seperti manusia. Tak terhitung berbagai hal lain yang dapat dibuat tiruannya melalui kepandaian manusia. Tidak heran dalam hal tertentu kita malah senang dengan ‘imitasi’ atau hal-hal yang ‘bukan aslinya’, dengan kata lain yang ‘palsu’. Di sisi lain, kita juga tidak senang dengan kepalsuan tertentu. Bahkan ada hukum yang mengatur jika kita memalsukan sesuatu. Misalnya, memalsukan hak intelektual orang lain, atau penemuan seseorang yang sudah dipatenkan, jika terbukti akan mendapat sangsi hukum. Dalam nas hari ini, TUHAN menyatakan dengan sangat keras dan tegas, bahwa Ia sangat marah dan tidak suka dengan orang-orang yang dengan seenaknya berbicara atas nama-Nya, menyampaikan ajaran atau nasihat kepada umat-Nya, tetapi sesungguhnya, tidak satupun dari mereka yang benar-benar mengerti isi hati TUHAN. Tidak satupun dari mereka yang memiliki relasi yang benar dengan TUHAN. TUHAN menyatakan kepada Yeremia bahwa orang-orang itu bukannya membawa pesan TUHAN, tetapi agenda mereka pribadi, mimpi dan rekaan hati mereka sendiri yang mereka sampaikan atas nama TUHAN. Sama seperti pada masa Yeremia, saat ini Alkitab sudah dapat diakses banyak orang, dan tidak sedikit orang dengan sendirinya merasa berhak berbicara atas nama Tuhan, tanpa benar-benar mendalami dan mengikuti aturan-aturan yang wajib diterapkan dalam menggali Firman Tuhan atau Alkitab. Tidak sedikit juga dari mereka yang berakhir tragis. Muncul berbagai aliran-aliran dalam gereja, bidat-bidat dan kelompok-kelompok kecil yang merasa paling benar sendiri dalam menafsirkan Alkitab. Saat ini muncul istilah baru yang makin populer: “Teologi Medsos”. Di berbagai media sosial (Facebook, Instagram, Whatsapp/ WA, Twitter, Pinterest, dan lain sebagainya), dengan mudah kita menemukan bukan hanya kutipan Alkitab, tetapi juga renungan singkat dan uraian-uraian dari berbagai orang dengan latar belakang yang tidak dapat diketahui dengan jelas. Berbagai sudut pandang disampaikan di sana, dari yang baik sampai yang sangat kacau dan jelas-jelas sesat. Kita mesti sangat berhati-hati dalam mencerna setiap tulisan atau pesan yang disampaikan dalam media seperti itu. Wadah seperti itu, telah menjadi sarana/ panggung bagi banyak pengajar palsu dengan klaim-klaim mereka sebagai utusan Tuhan, tetapi sebenarnya tidak demikian. Dua ekstrim yang muncul dalam pengajar palsu: Yang pertama, menyesatkan dengan cara membuat orang jauh dari Tuhan, dengan mengkompromikan ajaran Tuhan dan ajaran lain, seperti kelompok Saduki; Yang kedua, menjadi sangat legalistik dan sangat “rohani”, seperti yang diajarkan oleh orang-orang Farisi pada masa Perjanjian Baru. Keduanya harus kita hindari, dengan mengenal Firman Tuhan dengan benar, belajar dari sumber-sumber yang jelas dan dapat dipercaya. Gereja-gereja menerapkan seleksi yang ketat untuk mengangkat rohaniwan dan Pendeta untuk mempertanggungjawabkan pengajaran mereka dihadapan Tuhan dan jemaat-Nya. Mari kita selalu waspada terhadap berbagai penyesatan yang ada di sekitar kita, berbagai motivasi hati yang tidak benar di hadapan Tuhan, yang dapat menyesatkan kita. Tuhan kiranya menolong kita! Amin! Soli Deo Gloria!!! ______________________________________________________ Renungan, 11 Agustus 2019
Budaya Ritual Agama Vs Pembaruan Rohani Sama seperti setiap organisasi dalam masyarakat, setiap organisasi keagamaanpun punya ‘budaya’ dan ‘tradisi’ mereka masing-masing. Gereja-gereja Protestan di Indonesia yang lahir dari pelayanan Misi dari Eropa, memiliki budaya yang berbeda dengan Gereja-gereja yang akhir-akhir ini lahir dari pelayanan-pelayanan para hamba-hamba Tuhan dari Amerika dan Korea. Ada daerah-daerah tertentu di Indonesia yang saat ini dikenal dengan ‘kantong-kantong Kristen’, karena Kekristenan di daerah-daerah tersebut sudah hadir dan ‘membudaya’ dalam kehidupan masyarakat di daerah itu. Misalnya, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Utara dan beberapa daerah lainnya di Indonesia bagian Timur. Sebaiknya ada juga daerah-daerah lainnya yang dikenal dengan kantong-kantong agama-agama lainnya yang ada di Indonesia; misalnya Aceh, Padang, Banten, Kalimantan Selatan, Sulawesi selatan, Madura, dan lain sebagainya. Daerah lain, seperti Bali dikenal dengan daerah yang kuat dipengaruhi oleh Agama dan ‘budaya’ Hindu. Daerah-daerah seperti di atas, sekalipun dikenal dengan ‘budaya’ agama tertentu, ternyata tidak semua penduduknya benar-benar menjalankan ajaran agama dari hati mereka. Hanya karena mereka lahir di tengah budaya agama yang dominan, maka mereka dibesarkan dan menjalankan ritual-ritual agama tersebut; seringkali tidak lagi memikirkan dengan serius alasan mengapa ia menjalankan semua ritual tersebut. Hal yang sama pernah terjadi (dan dapat terjadi kapanpun, di manapun) dalam kehidupan umat TUHAN. seseorang yang mengaku percaya pada Tuhan Yesus, tidak selalu memiliki komitmen yang serius dan benar dalam kaitan dengan imannya itu. Mengaku percaya kepada Tuhan, tetapi kehidupan mereka sama sekali tidak bertumbuh dalam pengenalan akan Tuhan, tidak bertumbuh dan tidak mengalami pembaruan hidup dari hari ke sehari. Semua kegiatan keagamaan memang dijalankan, tetapi pada hakekatnya, mereka memungkiri kekuatan ibadah tersebut: “Secara lahiriah mereka menjalankan ibadah mereka, tetapi pada hakekatnya mereka memungkiri kekuatannya. Jauhilah mereka itu! (2 Tim. 3:5). Ritual keagamaan penting, tetapi jika tidak dibarengi dengan ‘kerohanian’, ritual tersebut tidak memiliki arti apapun dan tidak mendatangkan manfaat apapun baik bagi sesama, diri sendiri, lingkungan sekitar, terlebih bagi kemuliaan Tuhan. Betapa pentingnya ‘pembaruan rohani’ dalam kerangka ritual-ritual keagamaan yang dijalankan setiap orang percaya. Tanpa ‘pembaruan rohani’ tersebut, seperti tubuh tanpa roh, mati adanya. Mari kita terus memperhatikan agar kerohanian kita senantiasa bertumbuh – melalui semua ritual keagamaan yang sudah membudaya dalam kehidupan kita. Ritual keagamaan kita tidak sekedar perbuatan tanpa makna, tetapi secara nyata dilatarbelakangi oleh kehidupan rohani yang benar. Itulah yang berkenan kepada Tuhan! Doa: Ingatkan kami ya Tuhan, agar apapun yang kami lakukan, kami lakukan untuk kemuliaan nama-Mu; setiap sikap, tingkahlaku, aktivitas kami dan tutur-kata kami selalu memuliakan Engkau! Amin! Soli Deo Gloria!!! ______________________________________________________ Renungan, 4 Agustus 2019
Menginjak Bumi, Berpikir (dan bertindak) Surgawi Hidup sebagai orang Kristen digambarkan dengan ‘Terang’ dan ‘Garam’ bagi dunia ini (Mat. 5). Hidup seperti itu, dituntut untuk memiliki kualitas tertentu yang tidak dimiliki oleh orang-orang lain disekitarnya. Itu sebabnya, mengapa Orang Kristen tidak mungkin tidak berbeda dengan orang lain disekitarnya. Untuk menjadi ‘Terang’, orang wajib memiliki “Sumber Terang’ itu dalam hidupnya; demikian juga untuk menjadi “Garam”, orang Kristen wajib memiliki “Sumber Keasinan” itu dalam dirinya. Jika seorang tidak memiliki keduanya, maka tidak mungkin memancarkan “terang” atau “menggarami” lingkungannya. Kristus adalah sumber terang yang sejati dan ajaran-Nya yang memampukan seorang Kristen menjadi Terang dan Garam bagi lingkungannya. Sikap dan tingkahlaku orang percaya tidak ditentukan oleh ajaran dan hikmat dunia ini, sekalipun masih hidup di dunia ini. Melalui Firman Tuhan (Kitab Suci), kita mengerti bahwa Hidup dan Karya Kristus (Pengajaran, Teladan hidup, Penderitaan, Kematian, Kebangkitan dan Kedatangan-Nya yang kedua kelak) telah mengubahkan seluruhnya, secara total, hidup mereka yang dipanggil untuk percaya kepada-Nya, menjadi pengikut-Nya. Hakekat hidup orang percaya tidak lagi sama dengan hidup yang dulu di jalani sejak dilahirkan dari orangtua msing-masing, walaupun hidup itu masih dalam tubuh yang sama, dengan pikiran dan emosi yang masih mewarisi hal-hal yang lama. Inti dari kehidupan orang percaya yang sejati adalah Kristus di dalam dia dan dia di dalam Kristus. Kedua kenyataan rohani tersebut punya konsekuensi yang besar dalam hidup setiap orang percaya:
Doa: Biarlah hidup-Mu selalu nyata melalui hidup kami, ya Tuhan! Sehingga ketika Engkau menyatakan diri kelak, kamipun akan menyatakan diri, dalam kemuliaan-Mu. Amin! Soli Deo Gloria!!! __________________________________________________ Renungan, 28 Juli 2019
Syafaat Di Hadapan Hakim Seluruh Bumi Kejadian 18:16-33 Memperhatikan sesama, kepedulian kepada sesama adalah nilai-nilai yang sejalan dengan Kebenaran dan Keadilan TUHAN, Hakim atas seluruh bumi. Sikap yang bertentangan dengan nilai-nilai tersebut, mendatangkan bukan hanya teguran dari TUHAN, tetapi juga dalam kasus yang ekstrim, mendatangkan penghukuman TUHAN yang mengerikan bagi mereka yang bertindak semena-mena terhadap sesama. Keluh kesah banyak orang tentang Sodom telah sampai kepada TUHAN. Bukan karena selama ini TUHAN tidak peka, tetapi karena selama ini Ia bersabar dan memberi banyak kesempatan kepada mereka untuk berbalik dari segala dosa-dosa mereka. Kali ini, dosa-dosa Sodom dan Gomora sudah sedemikian hebatnya, sehingga orang benar tidak lagi dapat memberikan terang mereka kepada lingkungan yang sudah rusak. Sebelum melaksanakan penghukuman-Nya terhadap Sodom dan Gomora, TUHAN akhirnya memutuskan untuk memberitahukan rencana itu kepada Abraham. Dengan berbuat demikian, TUHAN membuka kesempatan dialog antara Diri-Nya dan Abraham berkaitan dengan rencana Penghukuman TUHAN yang akan menghancurkan Sodom dan Gomora dengan cara yang tidak pernah terjadi sebelumnya, yakni dengan membumi-hanguskan seluruh kota tersebut, sehingga tidak satupun dari orang-orang di dalamnya dapat lolos dari Penghukuman-Nya. Abraham merespon dalam segala keterbatasannya dan dengan penuh penghormatan di hadapan TUHAN. Ia mulai dengan mempertanyakan apakah cara penghukuman seperti yang diceritakan TUHAN kepada Abraham adalah cara yang terbaik, mengingat sebagai Hakim, Ia mestinya tidak bertentangan dengan prinsip Kebenaran dan Keadilan. Dalam pandangan Abraham, memusnahkan tempat (Sodom dan Gomora), bukanlah cara yang benar dan adil, mengingat tentunya masih ada orang-orang benar di dalam sana. Abraham lalu mengasumsikan masih ada 50 orang benar dalam kota besar Sodom dan Gomora. Tuhan menjawab, bahwa jika benar ada 50 orang benar, tentu Ia tidak akan menjalankan penghukuman dengan menghancurkan seluruh kota-kota itu. Demikianlah, terjadi dialog yang menyatakan konsern Abraham terhadap jiwa-jiwa orang benar yang tidak seharusnya dibinasakan bersama dengan orang fasik di satu tempat. Dialog Abraham dengan TUHAN, bukan hanya menunjukkan kualitas Abraham sebagai orang pilihan TUHAN, tetapi juga tentang Keadilan dan Kebenaran TUHAN dalam mengambil keputusan sebagai Hakim seluruh bumi. Umat TUHAN sepanjang sejarah dan saat ini, selalu memiliki keterbatan yang sama dengan Abraham dalam memahami keputusan-keputusan TUHAN dalam menghakimi dan menghukum mereka yang tidak hidup mempedulikan sesama dan hukum-hukum-Nya. Tetapi hal tersebut tidak menjadi alasan untuk tidak berdoa bagi sesama kita yang ada di sekitar orang-orang fasik dan jahat itu, agar mereka terluput dari efek penghakiman Allah atas mereka. Tuhan Yesus dalam Perjanjian Baru, juga memerintahkan agar kita juga berdoa bagi orang-orang yang memusuhi kita, supaya mereka beroleh kasih karunia. Bukan hanya untuk orang-orang benar seperti dalam kasus Abraham. Kepedulian kepada sesama itulah yang menandakan bahwa kita hidup sesuai dengan Hukum Yang Terutama (baik yang pertama dan yang kedua, kasih kepada Allah dan kasih pada sesama). Maukah kita juga menyediakan waktu, menginvestasikan waktu, tenaga kita untuk sesama kita? Adakah hati dan mata kita benar-benar tertuju pada-Nya, teladan agung kita dalam bersyafaat? Doa: Tuhan ajar kami mengasihi sesama kami, juga melalui doa-doa kami, untuk kebaikan mereka! Amin! Soli Deo Gloria!!! ______________________________________________________ Renungan, 21 Juli 2019
Penghukuman dan Kasih Tuhan Amos 8:1-14 “Sebab itu perhatikanlah kemurahan Allah dan juga kekerasan-Nya, yaitu kekerasan atas orang-orang yang telah jatuh, tetapi atas kamu kemurahan-Nya, yaitu jika kamu tetap dalam kemurahan-Nya; jika tidak kamupun akan dipotong juga.” (Roma 11:22) “Berfirmanlah TUHAN kepadaku: “Kesudahan telah datang bagi umat-Ku Israel. Aku tidak akan memaafkannya lagi.” (Amos 8:2b) Setiap penghukuman selalu ada alasan yang kuat atau bukti yang kuat adanya suatu pelanggaran yang telah dilakukan oleh si penerima hukuman tersebut. Saat ini, di beberapa jalan besar Jakarta telah dipasang sistem kamera yang sangat kuat untuk merekam setiap pengendara yang tidak taat menjalankan aturan-aturan berkendaraan di jalan-jalan tersebut. Kamera tersebut mampu merekam dan menunjukkan dengan jelas wajah setiap pengendara mobil yang tidak mengenakan sabuk pengaman tersebut beserta dengan jenis kendaraan dan nomor polisi kendaraan tersebut. Tidak seorangpun pelanggar aturan dapat berdalih, karena bukti kuat yang disediakan oleh alat perekam tersebut. Sama dengan pengendara yang tidak taat aturan tersebut, orang Israel pada masa lalupun tidak dapat berdalih lagi ketika TUHAN menghakimi mereka dan menunjukkan segala kekerasan hati mereka dan kesalahan mereka yang mencolok, yang dengan sengaja mengabaikan Perjanjian yang telah dibuat Allah dengan mereka, dengan bertindak bertentangan dengan nilai-nilai hidup yang diajarkan TUHAN kepada mereka. Israel – sebagai umat TUHAN – seharusnya menunjukkan sikap hidup yang berbeda, yang menjadi terang bagi bangsa-bangsa lain, yang tidak mengenal TUHAN, dengan cara menjalankan hidup yang sesuai dengan hukum-hukum TUHAN. Israel justru membudayakan hidup yang makin jauh dari TUHAN dan Perjanjian-Nya. Seperti buah yang matang, melalui proses yang panjang, demikian dosa Israel tidak muncul begitu saja. Dosa mereka adalah seperti benih jahat yang terus dipelihara sampai menghasilkan buah yang siap dituai. Kesalahan Israel sudah jelas: Hati umat TUHAN tidak lagi menunjukkan bahwa mereka mengasihi TUHAN dengan segenap hati, segenap jiwa mereka. Mereka tidak lagi mengasihi sesama mereka seperti diri mereka sendiri. Dalam menjalankan ibadah mereka, mereka tidak tahan menunggu berlalunya hari pertama setiap bulan baru dan hari Sabat, demi untuk mengejar keuntungan, memperkaya diri mereka dengan berbagai kecurangan dalam berdagang dan berbagai penindasan terhadap sesama mereka yang miskin dan sengsara, sehingga mereka – mau tidak mau – menjual diri, menjadi budak para orang kaya dan para pejabat, demi bertahan hidup. TUHAN tidak akan menangguhkan penghukuman-Nya lagi! TUHAN tidak akan membiarkan keadilan-Nya tidak terlaksana. Betapa mengerikan penghukuman TUHAN, ketika berbagai peringatan kecil yang disampaikan para Nabi sebelumnya terus menerus diabaikan. Yang tersisa hanyalah murka Allah dan kebinasaan bagi mereka yang menghinakan firman-Nya. Kegelapan tidak hanya membuat orang meraba-raba, mereka juga tidak dapat melakukan apapun. Suara meriah perayaan akan menjadi raungan ratapan. Hari-hari mereka akan menjadi pahit sedih. Penghukuman bagi umat TUHAN adalah wujud keadilan dan kasih yang menghadirkan pengajaran bagi generasi yang akan datang, tentang Allah dan kekudusan-Nya, tentang kesetiaan dan hidup yang sejati (band. Ulangan 30:1-20). Mari kita memperhatikan kemurahan-Nya dan juga kekerasan-Nya! Hidup takut akan TUHAN, hidup dalam pengenalan akan Dia yang penuh kasih. Jangan pernah lupakan TUHAN dan hukum-hukum-Nya: Kasih terhadap TUHAN dan sesama. Doa: Ajar kami untuk selalu hidup dalam takut akan Engkau, dengan mengasihi sesama kami juga. Amin! Soli Deo Gloria!!! ______________________________________________________ Renungan, 14 Juli 2019
Perintah Yang Membawa Kehidupan Ulangan 30:9-20 Perintah selalu berasal dari pribadi yang memiliki kuasa dan wewenang lebih tinggi kepada mereka yang menjadi obyek kuasa dan wewenangnya. Perintah tidak pernah berasal dari yang lebih rendah wewenangnya, kepada yang lebih tinggi. Ketika seseorang menerima dan mengakui TUHAN sebagai Allahnya, ia menempatkan dirinya di bawah wewenang/ otoritas TUHAN. Dengan demikian konsekuensinya, orang tersebut mempunyai kewajiban untuk mentaati perintah apapun yang berasal dari TUHAN. Jika seseorang tidak pernah menerima TUHAN sebagai Allahnya, wajar kalau orang tersebut bersikap dan bertindak tanpa memperhatikan perintah-perintah TUHAN, karena memang dia tidak memiliki hubungan apapun dengan TUHAN. Bagi orang percaya, hanya ada dua respons terhadap perintah TUHAN: Menaati atau mengabaikan perintah-Nya. Masing-masing dengan konsekuensi yang mengikutinya. Mereka yang taat akan menerima kebaikan dari TUHAN, sementara mereka yang tidak taat akan menerima teguran dari yang kecil sampai yang besar. Mungkin sekali dalam beberapa kasus – sesuai hikmat TUHAN – teguran bagi ketidak-taatan dapat berakibat fatal bagi mereka yang tidak mendengarkan perintah-Nya. Nas hari ini mengingatkan kita bahwa TUHAN sudah mengantisipasi berbagai peristiwa pemberontakan (ketidak-taatan) umat-Nya di masa yang akan datang. TUHAN memberitahukan kepada mereka: Jikalau suatu saat umat-Nya mengalami konsekuensi/akibat ketidak-taatan mereka pada TUHAN (mereka ditawan oleh bangsa-bangsa lain, dibawa keluar dari Tanah Perjanjian – ay. 1), dan di sana mereka ingat semua perkataan yang disampaikan Musa hari itu, lalu mereka berbalik kepada TUHAN, bertobat dari segala pemberontakan (ketidak-taatan) mereka terhadap perintah-perintah TUHAN (ay. 2) – maka TUHAN akan memulihkan mereka, membawa mereka kembali ke Tanah Perjanjian yang sejak dulu telah diberikan TUHAN kepada nenek moyang mereka. Bukan hanya kembali ke Tanah Perjanjian saja, tetapi juga dengan segala berkat dan kebaikan yang akan dikerjakan TUHAN sendiri bagi mereka (ay. 3-10) Dalam Perjanjian Baru, kita diajarkan bahwa Roh Kudus adalah Pribadi Allah yang bekerja mengingatkan kita pada semua hal yang telah diperintahkan Tuhan Yesus kepada kita (Yoh. 14:26). Roh Kudus juga menginsyafkan kita dari segala dosa kita (Yoh. 16:8). Sedemikian, umat TUHAN dilengkapi untuk dipimpin/ dituntun oleh TUHAN sendiri dari dalam hati mereka. Sekalipun demikian, umat TUHAN tidak lepas dari kewajiban untuk menentukan pilihan mereka setiap saat; antara mengikuti tuntunan-Nya atau mengabaikan tuntunan-Nya. Manakah yang akan kita pilih? Mentaati Perintah yang membawa kita pada hidup yang akrab dengan TUHAN, ataukah mengabaikan perintah yang mengandung banyak janji berkat itu? TUHAN mengajak kita untuk memilih hidup! (ay. 19-20). Perintah-perintah-Nya yang membawa berkat itu tidak jauh dari kita, ada dekat kita yakni dalam hati dan dalam mulut kita (ay. 11-14; Rom. 10:6-8). Yohanes mengatakan bahwa tanda bahwa seseorang mengasihi TUHAN, Allahnya, adalah menuruti perintah-perintah-Nya; perintah-perintah-Nya itu tidak berat (1 Yoh. 5:3). Doa: “Sesungguhnya aku ini adalah hamba TUHAN; jadilah padaku seperti yang Engkau inginkan” (Lk. 1:38) Soli Deo Gloria!!! ______________________________________________________ Renungan, 7 Juli 2019
Ketaatan Menyingkapkan Kemuliaan TUHAN 2 Raja-raja 5:1-14 Taat adalah bagian dari hidup manusia sehari-hari, tidak peduli latar belakang sosial, pendidikan dan agama. Semua manusia tahu apa artinya ‘taat’. Ketaatan, berkaitan dengan otoritas di luar diri seseorang. Ada ‘taat peraturan lalulintas’, di mana seseorang menundukkan diri pada otoritas ‘aturan’ berlalu-lintas. Ada ‘taat beragama’, di mana seseorang tunduk pada aturan-aturan agama tertentu. Ada ‘taat hukum’, seseorang menjadi obyek hukum/peraturan di mana ia berada. Ada ‘taat orangtua’, di mana seorang anak mengikuti perintah atau nasihat orangtuanya. ‘taat pada Tuhan dan firman Tuhan’, di mana seseorang menundukkan diri pada otoritas kitab suci dan Tuhan yang disembahnya; dan seterusnya. Taat, dapat dilakukan siapapun; dari usia yang masih sangat muda sampai pada orangtua yang sudah lanjut usianya. Umumnya semakin bertambah usia ‘ketaatan’ seseorang pada otoritas di luar diri, makin diperhadapkan dengan tantangan kemandiriannya. Istilah ‘suka-suka gue’, ‘emang gue pikirin’, menunjukkan kemandirian seseorang terhadap otoritas tertentu di luar dirinya, yang dirasakan ‘mengatur’ atau ‘mengendalikan’ dirinya. Bagaimana hubungan antara ‘kebebasan diri’ dan ‘aturan/ otoritas Tuhan’ dalam diri kita? Sebesar apa penyerahan diri kita pada Tuhan dan Firman-Nya? Cerita hari ini menunjukkan bahwa ‘ketaatan’ seorang gadis kecil (asisten isteri panglima Aram, Naaman), menimbulkan efek-domino yang panjang, yang melibatkan dua raja dan petinggi-petinggi Kerajaan Aram dan Israel, bahkan juga Nabi Elisa dan asistennya, Gehazi. Gadis kecil tanpa nama itu, masih ingat dan percaya sungguh, bahwa Nabi TUHAN di Samaria (Kerajaan Israel), dapat menolong menyembuhkan penyakit Kusta yang menimpa suami Nyonya-nya. Iman gadis kecil itu, memberi pengharapan pada Nyonya-nya, cerita Isteri Namaan kemudian memberi pengharapan pada Naaman, yang juga menggerakkannya menemui Raja Aram. Pada gilirannya, Raja Aram – yang sayang pada Panglimanya itu, memiliki pengharapan untuk tidak kehilangan Panglima yang hebat itu. Raja Aram akhirnya menyurati raja Israel untuk mendapatkan pertolongan dari penyakit yang mustahil disembuhkan itu. Reaksi raja Israel yang keras dan gagal-paham itu, kemudian menggerakkan Elisa, sehingga Elisa berkata: “Biarlah ia datang kepadaku, supaya ia tahu bahwa ada seorang nabi di Israel.” Dari situlah klimaks kisah dan tujuan cerita ini ada dalam Kitab Suci, bahwa ada TUHAN yang hidup yang berbeda dengan allah-allah lainnya, yang kuasa-Nya tak terbatas – yang sanggup menghidupkan dari kematian. Bahwa TUHAN berbicara melalui jurubicara-Nya, para Nabi TUHAN. Kemuliaan TUHAN dinyatakan melalui peristiwa ini. Kalau kita perhatikan dengan teliti maka, ada berbagai level/ tingkatan ‘ketaatan’ dalam cerita ini. Ketaatan gadis kecil pada imannya, berbeda dengan ketaatan isteri Naaman, Naaman dan Raja Aram. Ketaatan gadis kecil dilandaskan pada pengenalannya pada TUHAN, Allah Israel, sementara Isteri Naaman, Naaman dan Raja, ketaatan mereka bertumpu pada kesaksian gadis kecil itu. Mereka tidak mengenal Allah Israel, tetapi mereka mencoba alternatif terakhir dan satu-satunya jalan yang masih mungkin mereka usahakan ketika semuanya gagal. Ketaatan raja Israel, juga tidak dalam kaitan dengan TUHAN, tetapi dengan perkataan Elisa; demikian juga ketaatan Naaman untuk mandi di sungai Yordan yang kotor, disebabkan nasihat para pegawainya. Ketaatan Elisa bertumpu pada Firman TUHAN, sementara Gehazi tidak taat perkataan Elisa. Akhir dari kisah ‘ketaatan’ dan ‘ketidak-taatan’ ini: Naaman disembuhkan, Gehazi (asisten Elisa) mendapat kusta, Gadis kecil tanpa nama itu mendapatkan kembali Suami dari Nyonya-nya, sebagai manusia baru – yang imannya sama dengannya. Aram dan Israel terluput dari peperangan – karena salah paham, Raja Aram mendapatkan kembali Panglima kesayangannya. Di atas semua itu, TUHAN dipermuliakan. Bercermin dari peristiwa di atas, bagaimana kita menilai ketaatan kita kepada TUHAN, Allah kita dalam Kristus Yesus? Benarkah ketaatan kita kepada-Nya merupakan ketaatan karena dipimpin Roh Kudus dan Firman-Nya, juga melalui para hamba-hamba TUHAN? Ketaatan tidak muncul begitu saja, ketaatan perlu dilatih. Berlatih untuk taat kepada pimpinan TUHAN melalui Roh Kudus dan Firman-Nya, berarti ‘mematikan’ kecenderungan pemberontakan manusia lama/ kedagingan kita, hidup yang terlepas/ mandiri dari TUHAN, Firman-Nya, hamba-hamba-Nya. Doa: Kami mau taat Firman-Mu, tuntunan Roh-Mu, perkataan-perkataan hamba-hamba-Mu, agar kemuliaan-Mu dinyatakan senantiasa. Tolong ajar kami, Ya TUHAN! Amin! Soli Deo Gloria!!! ______________________________________________________ Renungan, 30 Juni 2019
Merdeka Dalam Pimpinan Roh (Galatia 5:13-26) Apa yang terjadi kalau mesin kendaraan yang seharusnya menggunakan bahan bakar Solar, pada satu saat karena kelalaian, diisi dengan bahan bakar bensin? Pastilah bahan bakar Bensin itu tidak akan dapat diolah oleh mesin yang dibuat khusus untuk bahan bakar Solar. Akibatnya, kendaraan tidak akan bergerak kemana-mana, mogok. Demikian juga hidup baru yang diciptakan Allah dalam Kristus Yesus, dilahirkan dari Roh, tidak mungkin menghasilkan hidup rohani/spiritual sebagaimana yang dikehendaki Allah, jika digerakkan oleh keinginan daging. Roh dan Daging saling bertentangan satu dengan yang lainnya. Keinginan Roh Kudus bertentangan dengan keinginan manusia lama kita. Kita tidak mungkin netral ketika diperhadapkan dengan kedua pilihan itu. Orang percaya wajib untuk memilih hidupnya dipimpin oleh Roh Kudus agar berkenan kepada Allah: 1. Hidup dalam Roh memerdekakan kita dari keinginan daging (ay.16; 19-21); Roh mengingatkan bahwa manusia yang telah menjadi milik Kristus telah menyalibkan dagingnya (ay. 24) 2. Hidup yang dipimpin oleh Roh tidak lagi berada dibawah Taurat (ay. 18) 3. Hidup yang dipimpin oleh Roh pasti menyatakan buah Roh (ay. 22, 23) 4. Hidup yang dipimpin oleh Roh menghindarkan kita dari pencarian kemuliaan-kosong: saling menantang, saling mendengki (Ay. 25, 26) Sama seperti Bensin tidak dapat menggerakkan mesin kendaraan Solar, demikian juga manusia lama/ kedagingan tidak mungkin menjadi penggerak hidup baru kita, karena jelas-jelas bertentangan dengan apa dikehendaki Allah. Uniknya, Gereja atau organisasi – dengan usaha kedagingan – akan tetap dapat menjalankan program-program pelayanannya – bahkan bisa sedemikian lancar kelihatan aktiv dari luar – tetapi pada hakekatnya tidak berkenan kepada Allah (Band. 5 jemaat yang mendapat teguran dalam Kitab Wahyu, mereka aktiv dan penuh kegiatan pelayanan. Tetapi mereka semua mendapat teguran yang keras dari Tuhan Sang Pemilik Gereja). Manakah dari antara keduanya yang menggerakkan hidup kita selama ini: Apakah kedagingan yang menggerakkan hidup dan pelayanan kita atau Roh Kudus? Bagaimana kita tahu bahwa Roh Kudus benar-benar telah menuntun hidup kita pribadi selama ini? Mana yang lebih dominan dan konsisten, daftar perbuatan daging atau daftar buah Roh – dalam hidup kita? Mari teruskan belajar, melatih diri untuk terus menerus dipimpin Roh-Nya. "Jika saudara benar-benar telah menyerahkan dirimu kepada-Nya, sudah seharusnya penyerahan itu diikuti dengan usaha untuk hidup mentaati-Nya....Bukan karena berharap masuk surga sebagai upah ketaatan, akan tetapi sesuatu keinginan yang tak terelakkan untuk bertindak sedemikian rupa, karena secercah cahaya surgawi telah hadir di dalammu." (C. S. Lewis) Doa: Kami menyerahkan hidup kami untuk dipimpin Roh-Mu, Ya, TUHAN! Ajar kami setiap hari melatih kepekaan terhadap dorongan, bisikan lembut Roh-Mu. Amin! Soli Deo Gloria!!! ______________________________________________________ Renungan, 23 Juni 2019
Mengalami Penyertaan Allah dalam Masa Krisis Krisis dapat datang begitu saja tanpa pemberitahuan, tanpa ada tanda-tanda. Namun beberapa situasi tertentu dapat diperkirakan berpotensi mendatangkan krisis dalam kehidupan pribadi seseorang, kelompok atau suatu organisasi. Krisis dipahami sebagai respons seseorang terhadap suatu masalah tertentu yang jauh lebih besar dari kemampuan orang tersebut untuk mengatasinya. Karenanya, suatu krisis dapat membuat seseorang merasa tidak berdaya, kuatir, takut, bahkan merasa gagal dan tidak berguna dan akhirnya putus harapan. Tidak jarang muncul keinginan dalam hidup seseorang untuk mengakhiri hidup untuk melepaskan diri dari situasi tersebut. Dibalik semua keberhasilan Elia dipakai TUHAN menunjukkan kuasa melalui mujizat dan tanda-tanda ajaib, ternyata hasil yang diharapkannya – pertobatan orang Israel, kebangunan rohani diantara rakyat dan pemerintah – tidak terjadi. Malah, penguasa saat itu ingin membalas tindakan Elia yang membunuh-nabi-nabi Baal. Izebel mengirim pesan melalui utusannya (Ibrani: Malak = malaikat) bahwa ia sudah bersumpah untuk membunuh Elia. Ancaman Izebel tersebut menjadi titik balik bagi Elia. Dari seorang Nabi yang luarbiasa dipakai TUHAN, menjadi seorang yang dikuasai ketakutan dan melarikan diri dari tugasnya, dari tempat dimana ia dipanggil melayani. Bahkan Elia menaikkan permohonan agar TUHAN mengambil nyawanya saja, karena ia merasa gagal dan tidak lebih baik dari nenek moyangnya. Dalam segala keberadaannya, Elia tidak sendiri. TUHAN mendampingi Elia. TUHAN mengirim utusan-Nya (Ibrani: Malak = malaikat) untuk menolong Elia, memberinya makan dan minum dua kali berturut-turut, sebelum ia tiba di Gunung Horeb. Setibanya di Gunung Horeb, TUHAN membiarkan Elia berisirahat sebelum TUHAN melayaninya. Percakapan TUHAN dan Elia menarik sekali untuk dicermati, karena di dalamnya menyatakan kepada kita bagaimana TUHAN sebagai Penasihat Ajaib (Wonderful Counselor – Yesaya 5:9) sedang melakukan penyembuhan luka-luka jiwa bagi hamba-Nya, Elia. Pertanyaan TUHAN kepada Elia bukan hanya dapat dimengerti bahwa Elia memang lari dari pelayanannya, tetapi juga berfungsi untuk menolong Elia mengeluarkan seluruh emosinya yang selama ini terpendam. Pertanyaan pertama itu membuat Elia meneliti kembali semua alasan dan nilai-nilai yang dipegangnya dalam pelayannnya selama ini. Jawaban Elia memuat klaim-klaim pelayanannya, pengabdiannya kepada TUHAN dan umat-Nya, juga menunjukkan ‘masalah’ atau ‘alasan’ yang membuatnya melarikan diri dari pelayanannya. TUHAN tahu bagaimana menolong Elia. Elia mendapat kasih karunia TUHAN. Ia memandang kemuliaan-Nya – bukan dalam kedahsyatan angin badai dan api, tetapi justru dalam semilir angin lembut. Tuhan sekali lagi bertanya, pertanyaan yang sama, namun dengan situasi yang berbeda. Saat ini, Elia sudah melihat penyataan kemuliaan TUHAN. Jawaban dan jaminan bagi Elia, ada dalam melihat kemuliaan TUHAN tersebut. TUHAN bekerja dengan cara-Nya. Berikutnya, TUHAN tidak mencabut kepercayaan-Nya kepada Elia untuk menjadi jurubicara-Nya. Ia memberikan tugas baru bagi Elia, mengutusnya ke tempat yang sama, menghadapi orang yang sama, yang ingin mencabut nyawanya. Kali ini Elia, tidak lagi takut, tidak ada keraguan dalam dirinya. Ia mentaati panggilan TUHAN itu, kembali ke Damsyik melakukan tugasnya. Siapa yang kita andalkan ketika tahu bahwa kita sedang mengalami krisis? Maukah kita juga mencari TUHAN, ketika kita mengetahui bahwa kita dalam keadaan krisis? TUHAN tahu bagaimana menolongmu keluar dari krisis hidupmu. Tetapi yang terpenting harus kita jawab lebih dulu – apakah kita benar memiliki relasi yang benar dan hidup dengan TUHAN? Jika benar, maka andalkan Dia, nantikan selalu pertolongan-Nya. TUHAN juga dapat memakai konselor-konselor yang sesuai dengan hati-Nya untuk menolong kita. Doa: Kami bersyukur karena Engkau, ya TUHAN, adalah Penasihat Ajaib bagi kami. Ajar kami untuk mengandalakan-Mu, melewati masa-masa sulit kami. Amin! Soli Deo Gloria!!! ______________________________________________________ Renungan, 16 Juni 2019
Bermegah Dalam Karya Kristus (Roma 5:1-11) Apa itu bermegah? Bermegah adalah tindakan seseorang yang membanggakan sesuatu yang ia miliki, memamerkan sesuatu yang dapat dilihat dan dimengerti orang disekitarnya. Dalam kemegahan seseorang, terkandung rasa sukacita, kesenangan, bahwa ia memiliki sesuatu yang spesial yang tidak dimiliki oleh sembarang orang. Bermegah adalah suatu tindakan demonstratif, yang disadari dan dan disengaja sedemikian rupa, sehingga perasaan bangganya, senangnya tersebut terlihat melalui sikap dan tindakannya. Jadi, kalau dikatakan bahwa “seseorang bermegah dalam Karya Pembenaran Kristus”, maka yang menjadi pokok kebanggaannya, sukacitanya, rasa spesialnya, adalah dirinya memiliki Karya Pembenaran Kristus. Karya Pembenaran Kristus adalah pemberian diri Kristus untuk melewati penderitaan dan kematian bagi kita manusia, sehingga kita dapat dibenarkan di hadapan Allah, diterima oleh Allah kembali, dan diakui-Nya sebagai anak-anak-Nya. Mengapa Paulus menyebutnya sebagai suatu kebanggaan jika seseorang memiliki Karya Pembenaran Kristus? Paulus menunjukkan bahwa Karya Pembenaran Kristus itu adalah hal terpenting bagi manusia untuk memperoleh hidup yang sejati, bukan hanya hidup seperti yang dikenal dunia ini, yang hanya sementara dan berakhir dengan kematian. Paulus menjelaskan bahwa:
Mari kita banggakan, syukuri, bersukacita karena anugerah Pembenaran-Nya itu; dan ceritakan, kabarkan, viralkan kasih-Nya yang ajaib bagi kita! Doa: Tuhan Yesus, terimakasih untuk Pengorbanan-Mu bagi kami, kami dikasihi, diberi pengharapan kekal dan mendapatkan damai sejahtera yang memungkinkan kami dekat dengan-Mu, kapanpun dan di manapun kami berada. Terimakasih Tuhan. Amin! Soli Deo Gloria!!! ______________________________________________________ Renungan, 9 Juni 2019
Kuasa Roh Kudus Memproklamasikan Allah (Kis. 2:1-21) Ada dua hal yang langsung nampak dalam nas hari ini, berkaitan dengan para murid. Yang pertama, bahwa para murid – yang terdiri dari 12 rasul, Maria ibu Yesus dan beberapa wanita lain serta saudara-saudara Yesus – telah setia menantikan Janji Bapa, dengan tidak meninggalkan Yerusalem sejak Tuhan Yesus memerintahkan mereka, saat Ia terangkat ke Surga. Bertepatan dengan perayaan Hari Pentakosta, hari perayaan orang Yahudi menerima 10 Hukum di Sinai, juga perayaan minggu-minggu panen bagi orang Yahudi, Roh Kudus yang dijanjikan Bapa, datang dan memenuhi para murid Tuhan yang sedang berdoa di ruang atas Yerusalem. Kesetiaan mereka untuk menantikan Janji Bapa, adalah wujud ketaatan kepada Perintah Tuhan Yesus. Penantian mereka tidak sia-sia. Yang kedua, para murid yang dipenuhi Roh Kudus, juga berkata-kata dalam bahasa yang baru, sebagaimana yang diberikan oleh Roh Kudus, tentang perbuatan-perbuatan Allah yang luarbiasa. Oleh Roh Kudus, kesaksian mereka tidak lagi dihalangi oleh keterbatasan masing-masing pribadi mereka. Roh Kudus ‘meng-up-grade’ mereka sedemikian rupa – secara supernatural – untuk menyebarkan berita sukacita tentang Yesus Kristus, yang menyelesaikan tugas-Nya sesuai dengan kehendak Bapa. Para murid tidak lagi seperti dulu. Ada ‘hal baru’ dalam diri mereka, ada ‘kelengkapan baru’ dalam diri mereka, yang memampukan mereka untuk melaksanakan tugas pemberitaan Injil dengan lebih efektif. Ada dua hal juga, yang dapat kita pahami tentang Roh Kudus dalam bagian ini. Pertama, bahwa Roh Kudus adalah “Janji Bapa” bukan hanya bagi para Rasul dan semua murid Tuhan, tetapi bagi semua manusia – sebagaimana yang dinyatakan oleh Nabi Yoel. Pencurahan Roh Kudus itu juga merupakan penggenapan nubuatan tentang “Baptisan Roh Kudus” (Mat. 3:1; Mrk. 1:8; Luk. 3:16; Yoh. 1:33) yang dilakukan oleh Tuhan Yesus sendiri (Kis. 1:4, 5). Kehadiran Roh Kudus itu sekaligus menandai “hari-hari terakhir”, dimana bukan hanya para nabi yang bernubuat dan mendapat penglihatan, tetapi juga anak-anak laki-laki dan perempuan, teruna-teruna dan orang-orangtua serta hamba-hamba laki-laki dan perempuan (Kis. 2:17, 18). Yang kedua, bahwa Roh Kudus (sebagai pribadi) memberikan kepada para murid karunia-karunia sebagaimana yang dikehendaki-Nya. Roh Kudus yang memenuhi para murid, bekerja dengan cara-Nya, memberikan apa yang semula tidak ada pada para murid, sedemikian perkataan-perkataan mereka bukan lagi bahasa yang biasa mereka pakai, tetapi mengalami peningkatan yang dapat dimengerti oleh pengguna bahasa dari berbagai daerah yang ada di sekitar Laut Tengah. Roh Kudus tidak diutus untuk datang sendiri, bekerja lepas dari para murid Tuhan. Ia dijanjikan bagi mereka, bagi umat Tuhan, untuk melengkapi mereka dalam pelaksanaan tugas pemberitaan tentang ‘perbuatan-perbuatan Allah’ dalam Yesus Kristus. Oleh sebab itu, Pentakosta dalam kehidupan jemaat Kristen mula-mula, mendapatkan pengertian yang baru. Tidak hanya sebagai peringatan orang Yahudi, tetapi tentang kesetiaan Bapa menggenapi Janji-Nya, Kesetiaan para murid untuk menantikan Janji itu, serta permulaan baru Karya penyelamatan Allah – penerapan karya Kristus oleh Roh Kudus melalui umat Tuhan, kepada dunia yang terhilang, kepada mereka yang dipanggil sesuai dengan rencana kekal-Nya. Hari ini kita – Gereja Tuhan – merayakan Pencurahan Roh Kudus di Yerusalem. Maukah kita juga memberi diri untuk selalu menanti-nantikan Tuhan, memberi ruang bagi Roh Kudus untuk bekerja melalui diri kita? Maukah kita selalu ‘dipenuhi Roh’ disetiap langkah hidup kita? Maukah kita dipimpin oleh Roh Allah itu sendiri, untuk mengerjakan tugas Kerajaan Allah? Doa: Veni Spiritus Sanctus, datanglah Ya Roh Kudus, penuhi kami, pimpin kami! Amin! Soli Deo Gloria!!! ______________________________________________________ Renungan, 2 Juni 2019
Hidup Dalam Pemerintahan TUHAN yang adalah Raja TUHAN adalah Raja! Demikian pemazmur memulai ungkapan hatinya tentang Ke-Raja-an (Kingship) TUHAN, dalam kata-kata yang dirangkai indah dalam puisinya ini. Dengan penuh kebanggaan, penghormatan, penyembahan kepada TUHAN, Pemazmur mengungkapkan:
Doa: Kami memuliakan Engkau ya Raja kami, Tuhan Yesus, Juruselamat kami. Nama-Mu Kudus dan mulia! Kudus, Kudus, Kuduslah TUHAN! Amin! Soli Deo Gloria!!! ______________________________________________________ Renungan, 26 Mei 2019
Dipimpin oleh Roh Kudus (Kis. 16:1-15) Gereja yang beranggotakan orang-orang dari berbagai suku, kaum, bangsa dan bahasa, adalah Master-Plan Tuhan. Tidak satu mahlukpun dapat menghalangi rencana kekal-Nya itu. Pada akhirnya, TUHAN sendiri akan ada ditengah-tengah mereka yang telah Ia beli dengan lunas – melalui pengurbanan-Nya. Nas hari ini menceritakan bagaimana Tuhan bekerja melalui alat-alat-Nya untuk mencapai bangsa-bangsa lain:
Sebagai Gereja, kita juga ditempatkan Tuhan di dunia ini, di dunia kita masing-masing untuk menjadi saksi-Nya. Kita diteguhkan setiap Minggu dalam Ibadah bersama dan diutus kembali ke tengah kehidupan kita sehari-hari, dalam keluarga, pekerjaan dan pelayanan kita. Sudahkah kita menjalankan tugas panggilan kita? 2. Roh Kudus mengarahkan perjalanan pelayan-Nya Roh Kudus ‘mencegah’ (Kis. 16:6) dan ‘tidak mengijinkan’ (Kis. 16:7) tim ini masuk ke daerah-daerah tertentu yang mereka pikirkan. Roh Kudus mengarahkan mereka ke wilayah tertentu melalui penglihatan Paulus (Kis. 16:9) dan melalui diskusi tim tersebut (Kis. 16:10), mereka menarik kesimpulan tentang pimpinan Allah dalam perjalanan mereka. Pimpinan Tuhan dalam hidup kita hanya dialami oleh mereka yang mau belajar untuk peka dan taat pada-Nya. Adakah kita mencari pimpinan-Nya untuk menavigasi hidup dan keluarga kita? Pekerjaan dan pelayanan kita? 3. Roh Kudus membuka hati orang yang mendengarkan penyampaian Injil pelayan-NyaTidak seorangpun dapat datang kepada Yesus kalau ditarik oleh Bapa (Yoh. 6:44). Tidak seorangpun dapat mengaku Yesus adalah Tuhan, selain oleh Roh Kudus (1Kor. 12:3). Paulus dan Tim, hanya menyampaikan cerita tentang Yesus, Tuhan yang membuka hati Lidia. Beban pertobatan tidak terletak di pundak kita. Pemberitaan Injil itulah tanggung-jawab kita. Pemberitaan secara verbal – melalui kata-kata dan kesaksian kita dan pemberitaan secara non-verbal, melalui sikap, tingkah-laku dan tutur-kata kita. Apakah kita masih terus melakukannya? 4. Roh Kudus menyerahkan pelaksanaan Sakramen Baptisan kepada pelayan-Nya Tuhan telah mempercayakan kepada kita sakramen pembaptisan untuk dilayankan kepada mereka yang percaya kepada Tuhan Yesus, untuk dinyatakan dihadapan banyak saksi – iman seseorang kepada Kristus. Mari kita setia bersandar pada Roh Kudus. Mencari pimpinan-Nya dan siap sedia mentaati pimpinan-Nya, ketika bersama keluarga, di tempat usaha/ kerja, di tempat studi, dan dimanapun kita melayani-Nya. Doa: Tuhan, bimbing kami untuk lebih dalam mengenal Roh-Mu dan berjalan bersama-Nya setiap waktu. Amin! Soli Deo Gloria!!! ______________________________________________________ Renungan, 19 Mei 2019
Anugerah Keselamatan Bagi Bangsa-bangsa Sekalipun tidak selalu nampak bagi banyak orang pada umumnya, Tuhan tidak pernah berhenti bekerja mewujudkan rencana penyelamatan-Nya. Berulang kali Tuhan berbicara melalui utusan-Nya kepada umat-Nya, bahwa Ia bekerja menggenapi janji-Nya kepada mereka, namun tidak semua umat-Nya dapat langsung memahami dan melihat bagaimana Tuhan mewujudkan janji-janji-Nya. Tuhan pernah berkata kepada Abraham, bahwa oleh-nya dan keturunannya, bangsa-bangsa akan diberkati. Tetapi tidak banyak yang memahami bahwa yang dimaksudkan Tuhan adalah melalui Sang Mesias yang akan lahir dari antara keturunannya. Melalui Sang Mesias itu berkat keselamatan dari TUHAN akan sampai kepada bangsa-bangsa. Nas kita hari ini menunjukkan bagaimana Tuhan sedang menuntun murid-murid-Nya dan umat-Nya untuk memahami bahwa Anugerah Keselamatan itu tidak hanya diberikan kepada keturunan Abraham secara fisik, yakni keturunan Israel; tetapi juga kepada bangsa-bangsa lain. Tuhan tidak dengan tiba-tiba melakukannya, Ia telah mempersiapkan mereka ketika Ia akan terangkat ke surga. Ia telah berpesan bahwa para murid atau rasul-rasul-Nya akan pergi dan menjadikan segala bangsa murid-Nya. Kelihatannya perintah itupun tidak langsung dipahami sebagaimana yang Tuhan maksudkan. Para murid masih tetap di Yerusalem, sampai lewat masa penganiayaan Saulus dan jemaat mengalami beberapa saat damai. Saat itulah Petrus mulai mengunjungi jemaat-jemaat (Yahudi) yang tersebar di Samaria, sampai akhirnya Tuhan membawanya ke Kaisarea ke tempat Kornelius, seorang yang bukan Yahudi. Pelayanan Petrus kepada Kornelius itu mendapat sorotan dari para pemimpin dan umat Tuhan di Yerusalem yang masih ketat dengan aturan dan budaya Yahudi mereka. Dengan kacamata budaya itu, mereka masih berpandangan bahwa keselamatan, pemberian Roh Kudus, hanya sebatas keturunan Abraham/ Israel. Namun, setelah Petrus menjelaskan bagaimana Tuhan mengajarnya melalui penglihatan di Yope dan bagaimana Kornelius taat pada pimpinan Tuhan melalui malaikat-Nya, memanggil Petrus untuk menyampaikan “berita yang dapat membawa keselamatan” kepadanya dan seisi rumahnya; serta bagaimana Allah sendiri menganugerahkan Roh Kudus kepada mereka, sebelum Petrus mulai berbicara kepada mereka, maka saudara-saudara dan para pemimpin di Yerusalem menjadi lega dan tidak lagi menghakimi Petrus. Mereka bersukacita karena melihat kebesaran Tuhan itu. Budaya dan tradisi dimana seorang percaya tinggal dan dibesarkan, berpotensi menghambat maksud Tuhan kepada orang disekitarnya, di lingkungan di mana ia tinggal. Karena itu, kita wajib untuk selalu mencari kebenaran-Nya, memiliki kerendahan hati yang cukup dan rela diubahkan; melepaskan pandangan lama dan menerima kebenaran Firman Tuhan yang membebaskan kita dari ikatan budaya yang menghambat kita untuk dipakai secara maksimal oleh Tuhan. Anugerah keselamatan harus diberitakan kepada bangsa-bangsa, sedemikian orang-orang dari berbagai suku, kaum, bangsa dan bahasa, dapat mendengarkannya dan memperoleh keselamatan melaluinya. Berita keselamatan tidak dimaksudkan hanya untuk orang-orang Israel, keturunan Abraham yang tersebar di “seluruh dunia” saat itu. Dengan demikian, pada akhirnya, semua perwakilan dari suku, kaum, bangsa dan bahasa, akan berdiri di hadapan tahta Anak Domba Allah; karena Ia telah menebus mereka dan membayar mereka dengan lunas. Apa yang mungkin masih menghambat kita untuk melayani Dia? Apakah ada kebiasaan, budaya, tradisi, masa lalu kita yang selama ini menahan kita untuk menceritakan kasih-Nya kepada sesama di sekitar kita? Mari kita mohon belas kasih-Nya dan membuka hati bagi pimpinan-Nya. Doa: Ajar kami dan mampukan kami, ya Tuhan, menjadi alat-Mu, utusan yang memberitakan Anugerah-Mu kepada sesama di manapun kami berada. Amin! Soli Deo Gloria!! _____________________________________________________________________ Renungan, 12 Mei 2019
Pergi Mencari Yang Terhilang Kisah Rasul 9:32-43 Beberapa waktu setelah Saulus bertobat, ada saat dimana jemaat Tuhan mengalami masa tenang dan damai, tidak ada yang mengejar-ngejar mereka lagi. Saat itu Petrus memulai perjalanannya mengelilingi daerah-daerah sekitar, memasuki daerah Samaria untuk mengunjungi orang-orang kudus di daerah itu. Ada dua peristiwa luarbiasa (sesuai cakupan nas kita hari ini) yang dilakukan Tuhan melalui Petrus dalam perjalanan kelilingnya, yang membawa orang-orang berbalik kepada Tuhan:
Akan tetapi hal terpenting bukanlah peristiwa mujizat itu, tetapi efek/ akibat terjadinya mujizat itu, yang dapat dibuktikan oleh orang-orang sekitarnya. Tidak seorangpun dapat menyangkal bahwa Allah telah melakukan sesuatu yang luarbiasa melalui pelayanan Petrus. Semua orang yang ingin membuktikannya dapat menemui Eneas dan Dorkas yang ada di tengah-tengah mereka. Melalui peristiwa itu, Tuhan membawa banyak jiwa berbalik kepada-Nya. Apa yang dapat kita pelajari dari perenungan kita hari ini? Pertama: Tugas pelayanan – sesuai karunia dan talenta masing-masing – adalah hal yang wajib kita kerjakan dengan setia. Kedua: Dalam mengerjakan tugas kita, kepekaan terhadap pimpinan Tuhan dan doa untuk mendapatkan pimpinan Tuhan adalah hal yang tidak bisa kita abaikan. Ketiga: Pertobatan adalah pekerjaan Tuhan dalam diri orang-orang yang terhilang, melalui pelayanan dan ketaatan kita pada pimpinan-Nya. Bagaimana kita mengerjakan ketiga hal itu selama ini? Benarkah kita telah setia melayani, peka pimpinan-Nya dan mencari pimpinan-Nya dalam doa? Doa: Tuhan, ini kami. Pakailah kami seperti yang Kau ingini. Ajar kami mendengarkan suara-Mu dan taat pimpinan-Mu. Amin! Soli Deo Gloria!! ______________________________________________________ Renungan, 5 Mei 2019
Anugerah Yang Tak Dapat Ditolak Ketika Allah menginginkan seluruh dunia tahu tentang karya keselamatan yang telah dilakukan-Nya melalui penderitaan, kematian dan kebangkitan Anak-Nya, Ia menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan di dunia ini untuk hal tersebut dapat terlaksana. Ia telah menyiapkan para murid-Nya, yang kemudian disebut-Nya rasul-rasul-Nya atau utusan-utusan-Nya. Ia berpesan agar mereka menyaksikan-Nya mulai dari Yerusalem, Samaria, sampai ke Ujung Bumi. Ia masih memerlukan seorang yang akan membawa Berita Sukacita itu kepada bangsa-bangsa lain, raja-raja dan orang-orang Israel – baik yang di Yerusalem dan yang tersebar di seluruh daerah Laut Tengah saat itu. Orang pilihan tersebut adalah Saulus. Pilihan Tuhan terhadap seseorang, bukan karena ia adalah produk jadi, yang sama sekali diluar campur tangan Tuhan. Ia memilih sesuai dengan rencana-Nya, jauh sebelum Ia memanggil mereka masuk dalam pekerjaan-Nya. Saulus dipilih dan dipanggil Tuhan, bukan karena ia adalah seorang yang baik dan yang mengenal Tuhan atau yang memiliki hubungan dekat dengan Tuhan. Bukan juga karena ia seorang yang luarbiasa pandainya, melebihi semua rekan seusianya dalam hal memahami agama dan menjalankan aturan-aturan agamanya. Saulus, dikemudian hari, menyaksikan tentang pilihan dan panggilannya: “…Ia, yang telah memilih aku sejak kandungan ibuku dan memanggil aku oleh kasih karunia-Nya….” (Gal. 1:15). Nas hari ini, menceritakan proses panggilan Tuhan kepada Saulus, yang telah dipilih-Nya sejak kandungan ibunya. Pendidikan dan pemahaman agama yang selama ini diterimanya, telah membawanya menjadi seorang pejuang agama yang gigih untuk setiap doktrin dan budaya yang telah ditanamkan kepadanya sejak kecil. Suatu bentuk hidup dalam pemahaman/penafsiran Firman Tuhan (Torah) yang tidak mampu mengenali Lawatan Allah kepada umat-Nya, tidak mampu mengenali Sang Mesias yang telah datang dan menggenapi Nubuatan yang selama ini ada di depan matanya. Dalam puncak perlawanannya, ia diperhadapkan langsung kepada Pribadi yang selama ini dibencinya, dilawannya. Jauh dari pemikirannya selama ini, ternyata Pribadi yang dilawannya, justru adalah Dia – Sang Mesias – yang selama ini dinantikannya, dirindukannya. Suatu proses perubahan yang tidak mudah. Ada gejolak batin yang kuat, suatu pertentangan antara ‘ilmu’ dan ‘kepercayaan’ yang selama ini dibangunnya, dihidupinya, dan kenyataan yang baru saja dialaminya – dalam penglihatan dan percakapannya dengan Yesus yang menampakkan diri padanya, hari itu. Tuhan memberi waktu bagi Saulus untuk bergumul dalam doa puasa, tiga hari lamanya. Dalam doa puasanya, Tuhan memperlihatkan kepadanya seorang yang bernama Ananias yang datang melayaninya, menyembuhkan matanya yang buta. Dilain tempat, di kota Damsyik, seorang murid Tuhan bernama Ananias sedang begumul karena perintah dari Tuhan untuk melayani Saulus. Ananias yang bimbang untuk melayani, diteguhkan Tuhan dengan penjelasan bahwa Saulus adalah orang pilihan-Nya untuk tugas khusus, yang melibatkan banyak penderitaan. Peristiwa demi peristiwa terjalin indah di tangan-Nya, menyingkapkan dahsyatnya Pekerjaan Tuhan dan Rancangan-Nya bagi mereka yang dikasihi-Nya dan bagi Gereja-Nya. Ananias yang sudah diteguhkan Tuhan, pada gilirannya meneguhkan pengalaman Saulus di Jalan menuju Damsyik: “…Ia menumpangkan tangannya ke atas Saulus, katanya: "Saulus, saudaraku, Tuhan Yesus, yang telah menampakkan diri kepadamu di jalan yang engkau lalui, telah menyuruh aku kepadamu, supaya engkau dapat melihat lagi dan penuh dengan Roh Kudus.” (Kis. 9:17) Saulus kemudian tidak ragu-ragu lagi untuk dibaptis saat itu juga. Ia tidak dapat menyangkal dan menolak anugerah itu. Dengan demikian, kita melihat ada tiga peristiwa/pengalaman yang kuat, yang tidak dapat disangkal dan ditolak Saulus untuk sampai pada kesimpulan menerima Yesus dan dibaptis:
“…kami tidak berlaku licik dan tidak memalsukan firman Allah. Sebaliknya kami menyatakan kebenaran dan dengan demikian kami menyerahkan diri kami untuk dipertimbangkan oleh semua orang di hadapan Allah. Jika Injil yang kami beritakan masih tertutup juga, maka ia tertutup untuk mereka, yang akan binasa,….” (2Kor. 4:2-3) Benarkah ada perjumpaan pribadi dengan Tuhan dalam hidup kita, yang karenanya kita tidak mungkin membantah atau menolaknya? Apakah kita mengalami sendiri anugerah yang ajaib yang mengubahkan seluruh arah hidup kita, tujuan hidup kita, nilai-nilai hidup kita? Jika belum, hari ini adalah kesempatan bagi saudara, jangan sia-siakan! Berdoalah untuk kepastian keselamatan itu! Doa: Tuhan, kami rindu mengalami-Mu secara pribadi! Amin! Soli Deo Gloria!! Renungan, 28 April 2019
Tantangan dan Rintangan Bagi Saksi Kristus Kisah Rasul 5:26-33 Tantangan dan rintangan bagi seorang saksi Kristus dalam menyampaikan berita sukacita, tentu saja tidak selalu datang dari luar kehidupan saksi tersebut. Ada juga tantangan yang berasal dari antara orang percaya itu sendiri dan bahkan dari diri sendiri. Dalam menyaksikan berita sukacita Yesus Kristus, seorang saksi, wajib mengenali setiap tantangan itu dan menghadapi tantangan itu dengan bersandar pada Tuhan, penuh penyerahan pada kehendak Tuhan. Gereja Tuhan, sejak awal sudah diperhadapkan dengan tantangan dalam menyaksikan Kristus Yesus yang bangkit dan menang atas maut. Pemberitaan tentang Yesus Kristus, telah menimbulkan bukan hanya iri hati yang besar dari pihak pemimpin agama terhadap para saksi Tuhan, tetapi juga kekuatiran yang besar berkaitan dengan nama baik para pemimpin agama itu dihadapan masyarakat. Lukas menyatakan bahwa Imam Besar dan pengikutnya (kelompok Saduki), di antara semua anggota Mahkamah Agama, yang pertama-tama sangat terganggu dengan aktivitas para saksi Kristus. Mereka yang kemudian memulai ‘tindakan’, pendekatan hukum, terhadap para saksi Kristus itu. Mereka menggunakan wewenang mereka, untuk membungkam dan kalau bisa melenyapkan para saksi itu. Jelas sekali dari peristiwa yang disebutkan Lukas itu, adanya penyalah-gunaan kekuasaan (abuse of power) oleh Imam Besar dan para pengikutnya. Mereka menggunakan wewenang mereka untuk kepentingan diri mereka sendiri, untuk melindungi diri mereka dari tuduhan kesalahan pengambilan keputusan dalam hal penyaliban dan kematian Kristus. Kalau mereka berhasil meyakinkan Mahkamah Agama bahwa kegiatan para saksi Kristus itu bertentangan dengan hukum mereka, maka mereka dapat mudah mengontrol kegiatan para saksi, dan memberi sangsi yang seberat-beratnya kepada pelanggaran itu. Pola seperti itu nampak disepanjang sejarah gereja, roh yang sama yang bekerja dibalik orang-orang yang menentang Kristus Yesus, tidak pernah berhenti bekerja sampai saat ini. Di antara mereka, ada yang memang memegang kekuasan dan menggunakannya untuk kepentingan agenda pribadi mereka. Sementara mereka yang belum memegang kuasa, berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan kuasa itu dan memakainya untuk tujuan mereka. Tidak sedikit yang berhasil mendapatkannya, sehingga tidak sedikit juga para saksi Kristus yang menderita, bahkan memberikan nyawa mereka karena kepentingan pribadi dan kelompok yang menentang nama Tuhan itu. Mereka menggunakan apa saja dalam jangkauan mereka untuk menghambat dan kalau dapat menghentikan pemberitaan kabar sukacita Yesus Kristus. Namun, tidak sekalipun usaha untuk menghambat atau merintangi pekerjaan Tuhan itu berhasil di sepanjang sejarah Gereja. Justru sebaliknya yang terjadi. “Semakin dibabat, semakin merambat”, itulah istilah yang dipakai untuk menunjukkan kesia-siaan usaha manusia untuk menghentikan berita sukacita itu. Intervensi/ campur tangan Allah dalam setiap peristiwa usaha penghambatan dan penghancuran Gereja, senantiasa nyata – baik dalam melepaskan gereja dari penderitaan, maupun dalam mengijinkan gerejanya mencurahkan darah para martir-nya, sebagai benih gereja dimana ia berada. Dalam semua situasi itu, Nama Tuhan dipermuliakan. Petrus dan murid-murid saat itu, dilepaskan dari penjara dengan cara yang ajaib, dan Tuhan menggagalkan niat jahat untuk membunuh mereka melalui nasihat Gamaliel. Di lain kesempatan – pada akhir hidupnya – kita tahu bahwa Petrus akhirnya dengan gagah berani menyerahkan nyawanya sebagai martir bagi Tuhan. Ia tidak lari dari hambatan dan rintangan yang menghadang. Tetapi justru karena keberanian para saksi Kristus, maka Gereja bertumbuh dan meluas keseluruh dunia sampai saat ini. Bagaimana kita saat ini – dalam menyaksikan berita Kebenaran Tuhan Yesus Kristus? Adakah keberanian yang sama seperti yang ditunjukkan para murid Yesus, juga ada pada kita? Mereka menganggap menderita kehinaan, sebagai suatu sukacita karena dianggap layak untuk menderita karena nama Tuhan. Apakah sikap itu juga ada pada kita saat ini? Doa: Bapa, berikan kami kekuatan dan keberanian untuk menyaksikan Kristus kepada dunia, bersukacita ketika menderita dan dihina dunia karena Nama Yesus. Amin! Soli Deo Gloria!! Renungan, 21 April 2019
Yesus Sudah Bangkit dan Kita Dipanggil Menyaksikan-Nya Mengimani kebangkitan Yesus dari antara orang mati, bukanlah suatu kepercayaan buta. Percaya kita yang hidup di abad 21 ini kepada kebangkitan Yesus memiliki dasar yang kuat, yang didasarkan pada kesaksian langsung para saksi mata dan catatan-catatan sejarah. Di antara saksi mata pertama kebangkitan Tuhan Yesus, adalah Maria Magdalena, Petrus dan Yohanes. Mereka ada di lokasi kejadian, tidak lama setelah peristiwa kebangkitan itu terjadi. Yohanes melaporkannya kepada kita dengan detail pengalaman mereka saat itu:
Maukah kita menceritakan cerita yang mulia itu? Maukah kita menjadi saksi kebangkitan-Nya? Jika kita benar telah mengalami berkat-berkat kebangkitan-Nya, mari kita tidak malu menyaksikan kuasa-Nya yang telah mengalahkan maut itu. “Hai maut, dimanakah sengatmu?” Selamat Paskah! He is risen! Doa: Terimakasih Tuhan, kami boleh mendapat bagian dalam kemenangan-Mu atas maut! Teguhkanlah kesaksian kami setiap hari. Soli Deo Gloria!!! Renungan, 14 April 2019
KETAATAN SEORANG HAMBA Elia adalah nabi Tuhan yang melayani umat Israel pada masa pemerintahan Raja Ahab. Raja Ahab dikenal sebagai raja yang jahat di mata Tuhan lebih daripada semua orang yang mendahuluinya (1Raj 16:30). Ia menyembah Baal dan mendirikan mezbah serta kuil untuk Baal. Hal ini karena pengaruh Izebel, isterinya yang adalah anak raja Sidon. Dengan demikian pelayanan Elia bukanlah pelayanan yang mudah. Elia disebutkan menyatakan hukuman dari Tuhan kepada Ahab bahwa Israel tidak akan mendapatkan hujan selama beberapa tahun (ay. 1). Ahab tentu marah sekali mendengar hal ini. Untuk melindungi Elia, Tuhan menyuruhnya untuk berjalan ke Timur dan bersembunyi di tepi sungai Kerit (ay. 3). Perintah Tuhan ini disertai janji penyertaan dan pemenuhan kebutuhan Elia karena Tuhan menyatakan akan menyediakan makanan melalui burung-burung gagak. Jika saudara menjadi Elia, bagaimanakah respon saudara? Apakah akan menerima dengan taat karena perintah mengasingkan diri disertai janji dipenuhi kebutuhan? Ataukah saudara bertanya-tanya bagaimana mungkin burung gagak bisa memberi saudara makan? Atau saudara akan menawar kepada Tuhan: bagaimana kalau saya pulang saja ke Tisbe, karena saudara berpikir akan lebih nyaman di sana. Alkitab tidak mencatat apa yang dipikirkan atau dikatakan Elia tentang hal ini tetapi di ayat berikutnya disebutkan (ay. 5) bahwa: “Lalu ia pergi dan melakukan seperti Firman Tuhan”! Di sini terlihat bahwa Elia tidak mempertanyakan apalagi meragukan perintah Tuhan.Ia tidak pula menawar-nawar tempat yang lebih nyaman. Elia melakukan yang Tuhan perintahkan! Sebagai bukti dari pemeliharaan Tuhan, Elia mendapatkan roti dan daging setiap pagi dan petang dari burung-burung gagak (ay. 6). Hal ini sekaligus juga melatih Elia untuk bergantung sepenuhnya pada Tuhan. Setiap anak Tuhan adalah hamba-Nya dalam menjalani kehidupan ini. Jika saudara dipanggil untuk melakukan pelayanan tertentu dalam hidup, marilah taat untuk menjalankan perintah-Nya.Sekalipun ladang pelayanan saudara terlihat sulit. Saudara bekerja sama atau melayani orang-orang yang tidak menyenangkan. Tempat pelayanan yang Tuhan perintahkan pun bukan tempat yang nyaman. Marilah kita taat seperti Elia dan menggantungkan seluruh hidup (dan pelayanan)-nya kepada Tuhan. Tuhan akan memberikan segala kekuatan untuk kita dimampukan menjalani pelayanan tersebut. Tuhan juga akan menyediakan kecukupan untuk kebutuhan-kebutuhan supaya pelayanan dapat berjalan. Selamat mentaati Tuhan dalam panggilan pelayanan-Nya! ~Pdt. Djeffry Hidajat ~ Soli Deo Gloria! Renungan, 7 April 2019
Mengasihi Berarti Memberi Yang Terbaik (Yohanes 12:1-8) Maria Dyer seorang anak yang lahir dari keluaga misionaris di China, harus dikembalikan ke Inggris karena kedua orangtuanya meninggal dalam pelayanan. Gadis kecil itu dibesarkan oleh pamannya. Peristiwa kehilangan orangtua di ladang misi, tidak menghalanginya untuk mempersembahkan hidup sebagai pelayan Tuhan. Ketika berusia 16 tahun, ia dan saudaranya perempuan kembali ke China untuk melayani di sekolah wanita, sebagai utusan misi. Lima tahun kemudian, ia menikah dengan Hudson Taylor, seorang yang sangat dikenal karena pelayanannya, imannya dan pengorbanannya di China. Pelayanan Hudson dan Maria seringkali dikritik, bahkan oleh orang Kristen sendiri. Satu saat Maria menulis, “Berkaitan dengan tuduhan-tuduhan dari dunia, atau kesalahpahaman dari saudara-saudara Kristen, saya merasa bahwa rencana terbaik adalah meneruskan apa yang kami sedang kerjakan dan menyerahkan kepada Tuhan yang akan membenarkan pekerjaan kami”. Hanya empat dari sembilan anak mereka yang bertahan hidup hingga dewasa. Maria sendiri meninggal karena penyakit kolera, ketika ia berusia 43 tahun. Pemberian diri Maria Dyer untuk melayani Tuhan, mengingatkan kita kepada kasih kakak beradik yang tinggal di Betania, yang sangat mengasihi Yesus. Menjelang penderitaan-Nya di Yerusalem, Tuhan Yesus singgah di Betania; Maria, Marta dan Lazarus mengadakan perjamuan khusus untuk Tuhan Yesus. Masing-masing mereka melayani Tuhan Yesus: Marta seperti biasa melayani (diakonein), Lazarus menemani Yesus di meja makan, dan Maria mengurapi kaki Tuhan Yesus dengan minyak yang mahal harganya, sehingga seluruh ruangan itu dipenuhi dengan harumnya narwastu. Ketiga kakak beradik itu sungguh mengasihi Yesus, mereka memberikan yang terbaik yang mereka miliki, juga hidup mereka kepada Tuhan. Pelayanan Maria, Marta dan Lazarus, sungguh menggambarkan Kasih Kristus kepada kita semua. Ia memberikan yang terbaik bagi kita. Ia melayani kita, sehingga kita dapat berkata bahwa kita tidak kekurangan apapun. Ia melayani kita, menemani kita, mendampingi kita dimanapun kita berada, disepanjang perjalanan hidup kita, Ia juga memberikan keharuman kemenangan-Nya kepada kita, sedemikian berita sukacita kemenangan-Nya atas maut itu, dapat terpancar dari dalam kita dan dapat dirasakan oleh mereka yang disekitar kita. Sungguh amat berbeda dengan apa yang dipertontonkan Yudas. Yudas menggambarkan kondisi manusia yang tidak pernah puas, tidak pernah berterimakasih. Tidak hanya ia sering mengambil bagi dirinya sendiri uang miliki Tuhan, tetapi juga mau tampil sebagai orang baik yang peduli dengan orang miskin, dengan kepura-puraannya. Sungguh amat berbeda! Ketiga kakak beradik itu – Maria, Marta dan Lazarus – memberikan hidup mereka kepada Tuhan Yesus, sementara Yudas menyerahkan Tuhan Yesus dengan 30 keping perak. Manakah yang paling menggambarkan keadaan kita saat ini? Mungkinkah kita selama ini hampir melupakan hidup yang penuh kasih dan syukur kepada Tuhan, dan mungkin lebih cenderung mencintai dunia dan mengejar kesenangan yang ditawarkan dunia? Jangan-jangan hati kita tertawan sedemikian tidak dapat lagi memberi kepada Tuhan, karena kasih. Jangan-jangan pemberian kita semata merupakan ‘kewajiban’, bukan kasih yang sejati, karena kedekatan dengan Tuhan. Doa: Tuhan, ajarku ‘tuk lebih mengasihi-Mu dan memberikan bukan hanya apa yang ada padaku, tetapi juga seluruh hidupku kepada-Mu! Amin! Soli Deo Gloria! Renungan, 31 Maret 2019
Kasih Allah tidak Pernah Berubah Lukas 15:11-32 Love pain. Kasih itu menyakitkan. Ketika Allah memberikan kebebasan kepada manusia, Ia tahu bahwa dengan kebebasan itu, manusia bisa satu saat menolak-Nya; bukan hanya menolak saja, tetapi juga di sisi lain memungkinkan kasih yang sejati muncul dari dalam manusia itu sendiri – suatu pilihan yang dilakukan dengan penuh kesadaran – bukan suatu yang dipaksakan. Manusia kemudian menjalankan pilihannya untuk menolak Pencipta-Nya, dengan konsekuensi yang mau tidak mau dihadapinya: Mati! Tidak ada jalan lain, kematian itu adalah ketetapan Allah yang tidak mungkin ditarik lagi. Jika ada yang mau melepaskan manusia dari kematian itu, maka haruslah ada yang mau menggantikan kematiannya. Hanya itu jalannya. Allah – dalam Kristus – menderita karena kasih-Nya pada kita. Cerita Tuhan Yesus mengenai anak bungsu dalam nas hari ini, menolong kita untuk memahami kasih yang sejati itu. Kasih yang sejati seperti yang diperagakan Ayah kedua anak itu, tidak menjadikan anak itu tanpa pilihan. Ia memberikan kebebasan, sekalipun sakit hatinya karena penolakan anaknya itu terhadap dirinya, nilai-nilai yang telah diajarkan kepadanya dalam rumah selama itu. Menarik sekali bahwa Tuhan Yesus tidak secara langsung menunjuk pada Perintah Tuhan dalam Ulangan 21:18-21, bahwa setiap anak yang membangkang dan tidak menghormati orangtuanya, akan dihukum mati di hadapan orang-orang di kota itu. Sepintas dalam cerita ini, terbersit kesan bahwa Tuhan Yesus menempatkan orangtuanya sebagai Ayah yang lalai mengerjakan Firman Tuhan. Akan tetapi tidak demikian kasusnya. Pada akhir cerita ini, Tuhan Yesus menyebutkan bahwa Ayah anak itu mengatakan bahwa ia menerima anak bungsunya yang hilang dan didapat kembali dari kematian. Ayahnya tidak sungkan-sungkan berlari mendapatkannya – karena belas kasihnya, ia tidak malu merendahkan dirinya/ martabatnya sedemikian untuk dapat menerima anak-Nya itu kembali. Pengorbanan demi pengorbanan dilakukan oleh Ayahnya – karena kasih. Mulai dari sejak anaknya meminta bagian hartanya, lalu pergi, ketika tetangga dan orang kota tahu bahwa ada anak yang tidak berkelakuan baik dalam rumahnya, ketika ia menanggung penderitaan mengingat anaknya yang tidak bersamanya lagi, ketika anak itu kembali dalam keadaan lusuh, dan ketika kakaknya memprotes tindakannya menerima adiknya dan memberikan lembu gemukan untuk dipotong dalam acara pesta bagi adiknya itu. Dalam semua itu, Sang Ayah menjalaninya dengan pengorbanan-pengorbanan karena kasihnya pada anak-anaknya. Love pain, tetapi juga pada akhirnya love relieve, kasih memulihkan, menyembuhkan dan mendatangkan sejahtera bagi semua. Bercermin dari cerita di atas ini, apa yang kita temukan tentang diri kita? Apakah mungkin kita adalah anak yang terhilang itu? Ataukah kita sebagai orangtua, yang belum memiliki kualitas kasih seperti yang dinyatakan Tuhan Yesus dalam cerita itu? Ataukah, kita adalah kakak yang sedang marah dan tidak senang karena ada petobat baru yang mendapat kesempatan lebih banyak, menikmat banyak hal lebih daripada kita yang sudah lama melayani Dia? Baiklah kita merendahkan diri di hadapan Tuhan dan memohon kasih-Nya memenuhi kita semua untuk belajar lebih dalam lagi, mempraktekkan kasih yang ajaib dan mulia seperti yang diteladankan Kristus kepada kita. Doa: Tuhan, terimakasih untuk teladan kasih-Mu yang tidak pernah berhenti mengasihi kami. Mampukan kami untuk mengasihi seperti Engkau telah mengasihi kami. Amin! Soli Deo Gloria! Renungan 24 Maret 2019
“Jangan Gegabah karena Merasa Kuat” (1 Korintus 10:1-13) Kita mengenal banyak cerita tentang orang yang jatuh karena keangkuhan dan terlalu percaya diri, yang berakhir dengan kekecewaan yang mendalam, bahkan ada yang fatal. Istilah ‘Gegabah’, yang merujuk pada keputusan dan atau tindakan yang dilakukan tanpa berpikir panjang; bisa disebabkan karena seorang merasa sudah terbiasa melakukan suatu hal, dan meremehkan pekerjaan itu, dengan berpikir bahwa ia pasti bisa menyelesaikannya dengan baik, tanpa meneliti lagi kondisi awal pekerjaan dan hal yang berkaitan dengan itu. Bisa juga seseorang gegabah, hanya karena ia merasa dapat menyelesaikan suatu pekerjaan, tanpa bertanya kepada mereka yang lebih tahu, yang berpengalaman di bidang itu. Semua sikap dan dan tindakan yang gegabah punya resiko yang lebih besar untuk gagal. Paulus dalam suratnya yang pertama kepada jemaat di Korintus, ingin mendorong agar setiap pribadi jemaat di Korintus selalu mawas diri dalam menjalankan kehidupan mereka sebagai pengikut Tuhan. Jemaat perlu bercermin kepada sejarah nenek moyang mereka dimana Tuhan tidak berkenan kepada sebagian besar mereka, sehingga banyak dari mereka binasa di padang gurun, sekalipun mereka sudah melihat dan mengalami sendiri semua karya Tuhan, baik dalam mengeluarkan mereka dari Mesir, mencukupkan segala kebutuhan mereka dalam perjalanan di padang gurun, melindungi mereka, mengikat perjanjian dengan mereka untuk menjadi Allah mereka dan mereka menjadi umat-Nya. Mereka masih saja jatuh ke dalam berbagai pencobaan disepanjang perjalanan itu. Paulus menyebutkan berbagai cobaan yang mereka alami di padang gurun:
Lalu, bagaimana kita dapat bertahan dalam setiap tantangan, pencobaan di setiap tahapan hidup kita? Kita perlu belajar dan memperhatikan sejarah, mengingat setiap sikap gegabah umat Tuhan saat itu, dan berusaha untuk menghindari, mengulangi kesalahan mereka dengan:
Soli Deo Gloria! Renungan 17 Maret 2019
“Konsekuensi Mengikut Yesus” Lukas 9:22-27 Selama seseorang hanya ‘ingin’ mengikut Yesus, tidak ada konsekuensi yang akan dihadapi atau ditanggungnya. Sama seperti ketika kita ‘ingin’ untuk menjadi seorang yang ‘baik’, ‘sukses’, ‘menjadi berkat’, dan seterusnya; selama itu hanya berupa keinginan saja, maka tidak ada satupun tanggungan yang dihadapinya – kecuali dorongan-dorongan dari dalam hatinya yang terus-menerus mengganggunya untuk dapat mencapai keinginan tersebut. Sama seperti ketika seseorang menginginkan makanan/ minuman favoritnya, ia hanya dibebani dengan desakan-desakan untuk mendapatkan dan dipuaskan dengan mendapatkan apa yang diinginkannya itu; ia ‘belum’ mengeluarkan apapun, belum ‘membayar harga’ makanan/minuman favoritnya itu. Hanya ketika ia bertindak untuk melakukan keinginannya, maka konsekuensi tindakannya itu harus ditanggungnya; ia harus ‘membayar’ harga ‘keinginannya itu’. Tuhan Yesus dengan jelas sekali menyatakan beberapa hal berkaitan dengan siapapun yang ‘mau’ mengikut-Nya, mereka harus:
Pertama, mengenai kata kerja ‘Menyangkal’. Tense kata kerja dalam bahasa Yunani ini, dipahami sebagai suatu tindakan/ pilihan yang spesifik, jelas, dan sekali dikerjakan dan berdampak langsung kepada dirinya sendiri. Suatu tindakan yang cepat dan tuntas/total, yang dibedakan dengan tindakan yang habitual, yang hasilnya ditentukan oleh pengulangan itu. jadi, “menyangkal dirinya’, berarti bahwa seorang yang ‘mau mengikut Yesus’, wajib memperlihatkan hasil ‘penyangkalan dirinya’ yang tuntas, bertentangan dengan dirinya sendiri. Pilihan untuk ‘menyangkal diri’ yang jelas dan tegas ini, membuat seseorang seperti “kehilangan jiwa (psike)-nya”, karena Kristus. Kedua, kata kerja ‘Memikul’. Tense yang digunakan di sini, sama dengan yang pertama; suatu pilihan yang spesifik, jelas dan sekali dikerjakan dan nampak dalam hidupnya sehari-hari bahwa ia ‘memikul salib-nya’. Pilihan pertama ‘menyangkal diri sendiri’ memungkinkannya untuk mewujud-nyatakan, dapat disaksikan hasilnya, bahwa ia ‘memikul salibnya setiap hari’. Ada kerelaan (tuntas/total) untuk memikul penderitaan, tantangan, kesulitan/kesesakan, penolakan karena Tuhan Yesus dan perkataan-Nya; karena menghidupi/ mentaati perintah-perintah-Nya. Ketiga, kata kerja ‘Mengikut’, dalam tense Yunani, yang diartikan sebagai perbuatan yang dilakukan berulang-ulang, setiap waktu, sebagai suatu kebiasaan – bukan setiap hari – tetapi kontinyu/setiap waktu (band. Perkataan Tuhan Yesus: “Barangsiapa melayani Aku, ia harus mengikut Aku dan di mana Aku berada, di situpun pelayan-Ku akan berada. Barangsiapa melayani Aku, ia akan dihormati Bapa.” – Yoh. 12:26). Hanya mereka yang tuntas memilih untuk ‘kehilangan nyawa/ psike’ dan ingin memperoleh Kristus di atas segala yang disediakan dunia ini, yang justru ‘menyelamatkan nyawanya’ atau ‘tidak merugikan dirinya sendiri’. Ini paradox iman: yang kehilangan/ melepaskan, malah mendapatkan dan menyelamatkan; sementara yang ingin menyelamatkan nyawa dan memperoleh dunia ini, malah kehilangan nyawa, merugikan dirinya sendiri. Demikian juga, hanya mereka yang tidak malu karena Kristus dan perkataan-Nya, yang akan diakui pada saat Ia datang kembali kelak dalam kemuliaan-Nya dan dalam kemuliaan Bapa dan malaikat-malaikat kudus. Adakah kita melihat ciri-ciri di atas dalam hidup kita masing-masing? Benarkah klaim kita sebagai pengikut Kristus, diteguhkan dengan karakteristik di atas? Jika ciri itu jelas, mari kita lanjutkan hidup sebagai pengikut-Nya yang sejati. Jika belum, mari kita sadar kembali dan mengerjakan apa yang seharusnya kita kerjakan sebagai murid-Nya yang kekasih. Doa: Tuhan, teguhkan hati kami untuk selalu mengikut-Mu, di manapun, kapanpun! Amin! Soli Deo Gloria! Renungan, 10 Maret 2019
KETAATAN MENGALAHKAN PENCOBAAN (Lukas 4:1-13) Tidak semua orang saat ini mengerti apa itu ‘Pencobaan’. Istilah itu semakin tidak populer bahkan dikalangan orang Kristen sendiri. Sementara di sisi ekstrim lainnya, orang selalu mengkaitkan apapun masalah yang alaminya sebagai ‘pencobaan’, baik yang dianggap berasal dari Tuhan atau dari si Iblis. Mengapa begitu? Dunia saat ini makin hari makin nyata perbedaan antara mereka yang percaya pada hal-hal supernatural dan yang sama sekali tidak menghiraukan apakah hal-hal supernatural itu ada. Apakah Tuhan dan Iblis itu benar-benar ada dan aktif bekerja mempengaruhi hidup manusia. Alkitab kita menyatakan bahwa pencobaan itu bisa berasal dari Iblis dan juga bisa berasal dari diri sendiri. Keduanya berbeda dalam natur, tetapi untuk menghadapinya dan menang terhadap terhadap pencobaan itu, tidak ada cara lain, selain dengan bergantung pada pimpinan Roh Kudus dan menggunakan Firman Tuhan untuk menangkal atau mematahkan pencobaan tersebut. Mari kita perhatikan bagaimana Tuhan Yesus menang dalam menghadapi pencobaan yang datangnya dari si Jahat, bagaimana dimensi ketaatan Tuhan Yesus dinyatakan dalam nas ini:
Jika Tuhan mengijinkan pencobaan masuk dalam hidup kita, maka Tuhan sedang menghendaki kita untuk menang dengan meniru cara bagaimana Kristus telah menang melewati berbagai cobaan tersebut. Pencobaan yang kita alami, disesuaikan dengan kemampuan kita untuk menanggungnya. Bukan hanya itu, Ia juga berjanji untuk hadir di dekat kita, untuk menuntun kita melewati pencobaan dan menang dalam menghadapi pencobaan itu. Kemenangan orang percaya terhadap pencobaan dijamin oleh Kristus yang telah menang atas maut. Maut, dalam hal inipun, dilihat tidak pernah dapat menang terhadap mereka yang percaya kepada Tuhan Yesus. Karena maut itu sendiri sudah dikalahkan oleh Kristus Yesus Tuhan. Kenyataan bahwa pada kasus-kasus tertentu, pencobaan itu sangat menyakitkan dan mungkin saja berkepanjangan dalam hidup seseorang yang percaya kepada Tuhan. Semua daya upaya telah dikerjakan untuk menghadapi pencobaan yang datang menimpa. Tetapi mereka yang benar-benar mengasihi Tuhan, selalu mendapat kekuatan untuk menang, bahkan ketika maut mengancam dan merenggut tubuhnya. Dalam hal seperti itupun orang percaya ‘menang’ dalam Kristus yang telah menang atas maut. Mari kita terus bersandar pada Tuhan, meengarahkan mata kita kepada Dia yang adalah teladan sempurna, yang telah menang terhadap pencobaan, bahkan maut sekalipun. Doa: Tuhan, kami mau taat, ajar kami untuk tinggal dalam kemenangan-Mu! Amin! Soli Deo Gloria! Renungan, 03 Maret 2019
Hidup yang Mencerminkan Kemuliaan Allah Keluaran 34:17-35 Istilah ‘kemuliaan Tuhan’, seringkali kita dengar dalam percakapan orang percaya maupun dalam khobah-khotbah Minggu, bahkan dalam setiap ibadah lain di tengah Minggu. Istilah lain yang artinya sama dengan itu adalah ‘Soli Deo Gloria’, yang berarti ‘Segala Kemuliaan hanya bagi Allah’. Kalau kita berhenti sejenak dan mencoba memahami apa sebenarnya makna/ arti kemuliaan itu, apa yang muncul dalam pikiran kita? Mungkin sekali ada yang dapat menjawab dengan yakin definisi kemuliaan itu menurut Alkitab dan mungkin juga ada yang tidak dapat langsung menjawabnya, karena istilah ‘kemuliaan’ itu sendiri agak sulit untuk disebutkan dalam satu kata atau dalam satu kalimat saja. Dari berbagai pemakaiannya dalam Alkitab, kita bisa mencatat:
Berbagai kedahsyatan kemuliaan dalam Perjanjian Lama, hadir dalam pribadi Kristus. Dialah cahaya kemuliaan Allah itu! Kalau demikian, bagaimanakah hidup yang mencerminkan kemuliaan Tuhan itu? Hidup yang mencerminkan kemuliaan Tuhan tidak lain adalah hidup yang mencerminkan hidup Kristus, teladan Kristus dalam hidup setiap orang yang telah dilahirkan kembali, yang telah menjadi anak-anak-Nya. Mereka yang seharusnya mencerminkan kemuliaan Allah itu setiap harinya, dari kemuliaan kepada kemuliaan yang lainnya dalam Kristus. Apakah kita sudah menjadi anak-anak yang setia mencerminkan kemuliaan-Nya? Akankah kita setia, jika karena mencerminkan kemuliaan-Nya, kita harus menderita olokan, ejekan dan hinaan? Maukah kita membayar harga hidup dalam kemuliaan Kristus, dengan menyangkal diri dan membiarkan kemuliaan-Nya nampak dalam dan melalui kita; di tengah keluarga, pekerjaan, usaha dan pelayanan kita masing-masing? Tetaplah setia menjadi alat bagi kemuliaan-Nya. Doa: Ajar kami mengenali kemuliaan-Mu makin dalam, ajar kami, ya Tuhan, untuk setia memancarkan kemuliaan-Mu, memancarkan kemuliaan Kristus dalam kami! Amin! Soli Deo Gloria! Renungan, 24 Februari 2019
Milikilah Cara Hidup yang Baik di Tengah Bangsa! Petrus 2:11-17 Apa yang dikatakan oleh orang-orang disekitar kita tentang orang Kristen di Indonesia? Dapatkah kita mengetahui apa yang mereka ingin katakan tentang kita? Memang tidak mudah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu; bukan hanya karena obyektifitas pernyataan mereka bisa diragukan, tetapi juga karena tidak ada orang atau kelompok yang dapat menjadi standar untuk mewakili kelompok tersebut. Sekalipun demikian, tidak ada seorangpun yang dapat menghalangi seseorang yang tidak percaya Tuhan Yesus sebagai Juruselamatnya, berbicara atau menilai Kekristenan berdasarkan orang Kristen yang dikenalnya, baik yang ada di sekitar tempat tinggalnya, rekanan di kantor, atau bahkan seorang pejabat negara. Kekristenan, bagaimanapun juga akan dinilai – lepas dari obyektif atau tidaknya – oleh orang-orang disekitar kita. Nasihat Petrus ditujukan kepada para pengikut Kristus yang tersebar di berbagai daerah – yang saat ini berada dalam wilayah negara Turki (1 Petrus 1:1,2). Bukan hanya karena mereka adalah pendatang dan perantau di sana, tetapi karena mereka juga adalah orang-orang percaya, yang memiliki standar hidup yang dibuat bukan oleh manusia, atau lembaga manusia manapun. Mereka – sebagai orang percaya – wajib hidup sesuai dengan kehendak Allah (2:15). Nasihat Petrus tentang hidup sesuai kehendak Allah, mencakup: Menghindari keinginan daging, tunduk kepada semua lembaga manusia – karena Allah, menghormati semua orang yang berhak menerima hormat (2:11, 14). Sebagai pendatang dan perantau, cara hidup mereka tidak hanya menjadi sorotan banyak orang, tetapi klaim mereka sebagai pengikut Kristus, justru lebih lagi, membuat orang-orang disekitar mereka akan memperhatikan detil kehidupan mereka, dengan tujuan mencari tahu apa sebenarnya hakekat ajaran Kekristenan itu dan juga apakah benar klaim tersebut sejalan dengan tingkahlaku mereka sehari-hari. Sebagian orang lain, bisa saja menganggap Kekristenan sebagai saingan – bahkan ancaman – bagi ajaran yang selama ini mereka ikuti. Tentu saja, untuk kelompok yang terakhir itu, mereka tidak segan-segan mencari kesalahan dan kalaupun tidak menemukannya, mereka dapat menyebarkan hoax tentang Kekristenan itu sendiri. Kita merasakan semua itu. Ada pujian, pengakuan, tetapi tidak sedikit cercaan dan ejekan. Ada pertobatan, tetapi juga tidak sedikit kesulitan karena pengakuan dan pertobatan yang terjadi. Bagaimana kita akan melanjutkan kesaksian itu dalam generasi kita di Indonesia? Apa yang kita persiapkan bagi kesaksian generasi kita yang akan datang kepada Indonesia? Mari kita mulai dengan diri kita sendiri, keluarga kita, gereja kita dan seterusnya. Usaha yang tidak kecil ini, mungkin kelihatan mustahil. Tetapi kita tidak sendiri dalam melakukan semua ini. seluruh Gereja Tuhan melakukan hal yang sama. Kita melakukan bagian kita dari yang kecil, dilingkungan kita masing-masing, bagi kemuliaan-Nya. Cara hidup yang baik, yang sesuai kehendak Allah, tidak hanya berfungsi sebagai kesaksian, tetapi juga sebagai penangkal fitnahan dari mereka yang berniat jahat terhadap orang percaya dan Jalan TUHAN. Doa: Tuhan, sertailah dan teguhkanlah kesaksian kami – Gereja-Mu – di tengah bangsa ini! Amin! Soli Deo Goria! Aku dan Pemerintah (Roma 13:1-7)
Walaupun dalam pembahasan Paulus dalam nas ini, lebih condong kepada ‘pemerintah’, sebagai pimpinan suatu negara/ kekaisaran, tetapi dalam penerapannya, Paulus nampak memberikan tekanan yang lebih luas, yakni kepada ‘semua’ yang berhak menerima rasa takut dan hormat. Itu berarti nas hari ini dapat diterapkan juga pada otoritas lain selain pemerintah negara; misalnya, otoritas dalam keluarga, otoritas dalam gereja, otoritas di tempat kerja, dan seterusnya. Namun, renungan hari ini dibatasi pada pemerintah negara. Relasi orang percaya dengan pemerintah bukanlah relasi searah, yang melulu tanggung-jawab orang percaya kepada pemerintah, atau tugas dan tanggung-jawab pemerintah kepada rakyatnya – termasuk di dalamnya orang percaya. Pemerintah dan orang percaya sama-sama memiliki tugas dan tanggung-jawab yang wajib dilaksanakan untuk kebaikan semua. Pemerintah membuat aturan hidup bersama untuk ketertiban, keamanan dan kesejahteraan hidup bermasyarakat: menjaga aturan tersebut dengan memberi pujian bagi yang bersesuaian dengan aturan, memberikan penghukuman kepada mereka yang melanggar aturan tersebut. Sementara itu masyarakat (orang percaya) turut serta secara aktif mendukung terciptanya kehidupan bersama yang baik melalui semua produk hukum dan perundangan yang dibuat pemerintah. Paulus menulis surat kepada orang-orang percaya di Roma, mengingatkan bahwa sebagai orang percaya yang telah dipilih dari semula, ditentukan dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, mereka yang telah dibenarkan – mereka punya kewajiban untuk hidup mencerminkan karakter Ilahi dari dalam diri mereka kepada dunia di sekitar mereka. Termasuk di dalamnya, adalah hidup menaklukan diri kepada pemerintah di atas mereka. Paulus mengingatkan bahwa kepatuhan kepada pemerintah, merupakan bagian dari wujud iman kepada Allah. Bagaimana wujud penaklukan diri itu? Paulus menunjuk:
Relasi orang percaya dengan pemerintah di Indonesia saat ini, sekalipun masih diwarnai dengan berbagai kekecewaan dengan adanya berbagai kesulitan untuk membangun tempat ibadah, penutupan tempat ibadah, di satu sisi dan di sisi lainnya berbagai sukacita karena kebaikan dan usaha perlindungan hak-hak orang percaya sebagai warga negara minoritas; semuanya berjalan dalam dinamika hidup masyarakat majemuk, yang masih dapat diterima dan diusahakan semaksimal mungkin menemukan titik temu dari berbagai kepentingan. Ketaatan orang percaya kepada pemerintah bukanlah ketaatan mutlak/ absolut. Ketaatan demikian hanya ditujukan kepada Allah saja. Doa: Tuhan, tolong kami menghormati pemerintah kami dan menaklukan diri kepada pemerintah – sebagai wujud iman dan kasih kami kepada-Mu dan kepada sesama kami! Amin! Soli Deo Goria! "Aku dan Kotaku"
Yeremia 29:7 Umumnya orang percaya melihat usaha atau pekerjaannya sebagai suatu kewajiban untuk memenuhi nafkah diri sendiri atau keluarga. Tidak heran, jika baik usaha dan doa mereka tertuju semata kepada kepentingan pribadi/ keluarga saat ini dan masa depan saja. Jarang sekali ada yang – secara sadar – menjadikan kesejahteraan kota sebagai bagian dari tanggung-jawab pribadinya. Mensejahterakan kota dan berdoa bagi kesejahteraan kota dimana seorang percaya ada, merupakan tugas dan panggilan dari TUHAN. Kondisi jemaat saat ini, tidak sama dengan kondisi umat TUHAN pada masa lalu, ketika Yeremia menyampaikan Firman TUHAN itu. Saat itu seseorang terbatas hidup dan bekerja di satu kota saja; tidak seperti saat ini yang karena kemajuan teknologi transportasi dan teknologi komunikasi, memungkinkan seseorang tinggal di satu kota dan bekerja di kota lainnya, atau bekerja dari kotanya, untuk suatu pekerjaan di kota lainnya. Apakah dengan demikian Perintah TUHAN ini menjadi tidak relevan bagi kita yang hidup di jaman ini? Tentu saja tidak! Firman TUHAN tetap berlaku bagaimanapun juga kondisi hidup kita saat ini. Perintah untuk mensejahterakan kota dan mendoakan kesejahteraan kota dimana kita tinggal – tidak menghilangkan tugas dan tanggung-jawab mereka yang bekerja di kota lain. Itu berarti bahwa mereka yang bekerja di kota lain, tetap memiliki tanggung-jawab untuk mengusahakan kesejahteraan kota di mana ia tinggal. Pengajaran Tuhan mengenai tugas dan tanggung jawab orang percaya terhadap kesejahteraan kota dimana ia tinggal, sesuai nas hari ini, sudah ditegaskan 2600 tahun yang lalu. Bahwa kesejahteraan umat Tuhan tidak dapat dipisahkan dengan kesejahteraan orang-orang di sekitarnya. Ketaatan umat Tuhan terhadap pengajaran ini, pasti akan membawa dampak yang besar sekali dalam kehidupan sehari-hari umat Tuhan di tengah-tengah lingkungan dimana mereka berada. Kepedulian terhadap kesejahteraan bersama merupakan kunci hidup bermasyarakat yang menyediakan kemungkinan terbesar untuk dapat hidup bersama (co-exist) dalam damai dan saling membangun menuju masa depan bersama. Dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dinyatakan Cita-cita Nasional Indonesia (alinea 2): “…mewujudkan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.” Sementara di alinea 4, disebutkan Tujuan Nasional kita: “…melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut mewujudkan perdamaian dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.” Nampak jelas, bahwa apa yang disampaikan Firman Tuhan 2600 yang lalu, juga menjadi kesepakatan bersama seluruh warga Indonesia yang berbeda-beda: “…memajukan kesejahteraan umum…” Mari kita bertanya kepada diri kita masing-masing: Apakah yang menjadi kebutuhan orang-orang disekitar kita untuk dapat memiliki kesejahteraan hidup? Dimana peran gereja dan masing-masing kita; serta bagaimana kita akan mengusahakan kesejahteraan kota dimana kita tinggal sekarang? Mari kita menggumulinya dan komit untuk setia kepada Tuhan mengusahakan dan mendoakan sejahtera kota kita. Doa: Tuhan, terimakasih untuk kedamaian yang saat ini kami alami di kota di mana kami tinggal. Tolong kami untuk mengusahakan dan mendoakan di hadapan-Mu, seperti yang Engkau ingini. Amin Soli Deo Goria! Hidup di Tahun Rahmat Tuhan
(Lukas 4:14-30) Sebagai Umat TUHAN, kita selalu diingatkan bahwa hidup kita tidak hanya dipengaruhi, tetapi juga diarahkan oleh TUHAN, ditentukan oleh TUHAN. TUHAN selalu bekerja di tengah dunia ini mewujudkan rencana-Nya, tidak peduli siapa dan bagaimana seseorang atau sekelompok orang memerintah. TUHAN selalu menyelesaikan pekerjaan-Nya dalam tahapan-tahapan sejarah manusia. Nas Minggu ini menolong kita mengingat dan waspada bahwa umat TUHAN bisa saja kurang siap untuk menanggapi waktu TUHAN. Bahkan ketika TUHAN Yesus menyatakan bahwa saat mereka mendengarkan-Nya membaca nas nubuatan yang diucapkan Yesaya 700 yang lalu itu – Nubuat itu digenapi! Wow! Betapa luarbiasanya dan bahagianya kalau kita ada bersama-sama sekelompok kecil umat TUHAN di rumah ibadah (sinagoge) yang kecil itu. Kalau saja kita ada di tempat itu, kita juga menjadi saksi sejarah sekaligus saksi campur-tangan TUHAN dalam sejarah manusia. Sekelompok kecil umat TUHAN di Nazaret itu sedang menatap Pribadi “Yang di Urapi”, Sang Mesias, yang dijanjikan untuk memberitakan bahwa kelepasan akan datang, pembebasan akan terjadi dan Tahun Rahmat TUHAN akan segera mereka masuki. Tetapi sangat disayangkan, sekelompok orang di tempat ibadah kecil di Nazaret itu tidak siap menanggapi dan sulit menerima bahwa ternyata TUHAN memakai Pribadi yang mereka kenal selama ini ada bersama-sama dengan mereka. Pribadi yang selama ini membantu Yusuf si Tukang kayu di kota kecil Nazaret. Mereka bukan hanya menolak, tetapi juga ingin membunuh-Nya – menggiring-Nya ke arah jurang di dekat situ. Tuhan Yesus mengklaim diri-Nya sebagai pribadi dengan “Roh Tuhan ALLAH ada padaku…TUHAN telah mengurapi aku…Ia telah mengutus aku….” Pernyataan-Nya ini adalah klaim diri-Nya sebagai Mesias yang dinantikan umat TUHAN selama ini. Ia adalah wujud janji TUHAN untuk memulihkan umat-Nya. Pertama-tama dipulihkan dari dosa yang selama ini mengikat dan memperhamba mereka, dan selanjutnya memberikan kepada mereka tahun-tahun hidup dalam rahmat-Nya. Tuhan Yesus-lah yang akan membawa kabar baik, berita pembebasan, kelepasan. Hanya Dia yang diurapi TUHAN yang dapat melakukan semua itu; karena hanya melalui karya-Nya kita tidak hanya menemukan kelepasan sejati, tetapi juga sukacita atas setiap berkat yang disediakan-Nya bagi kita umat-Nya. Tahun rahmat TUHAN (ratson la’donai) adalah hari-hari seperti yang digambarkan dalam Tahun Yobel, di mana ada kelepasan, semua hutang dihapuskan, setiap orang kembali mendapatkan hak masing-masing. Tahun dimana kita menikmati persekutuan dengan Allah tanpa halangan dan tanpa dibayangi ketakutan lagi – kita diterima-Nya. Kurban yang sejati telah dipersembahkan-Nya, tirai pemisah antara Allah dan manusia telah disingkirkan-Nya. Satu jalan yang baru kepada TUHAN telah dibuka-Nya. Kita dilayakkan-Nya untuk menikmati-Nya, bersukacita dalam pengenalan akan Dia, kasih-Nya, rencana-Nya, janji-janji-Nya, pertolongan-Nya, kekuatan-Nya, penghiburan-Nya. Dunia boleh berubah, pemimpin silih berganti, kekuatiran dan ketakutan menjadi motivasi dan pendorong utama manusia di dunia ini untuk melakukan segala sesuatu. Tetap bagi mereka yang mengenal Allah dan jalan-jalan-Nya – senantiasa mendapatkan kekuatan baru di dalam Dia dan menjadikan-Nya perlindungan kekal. Ia menjadi sumber berkat atas setiap usaha, pekerjaan dan pelayanan kita. Kita menantikan hari-hari kelepasan sejati yang dijanjikan Tuhan ketika Ia kembali kelak. Mari kita ingat bahwa Allah tidak berhenti berkarya sampai semua rencana-Nya terlaksana. Mari kita akui bahwa kita menjadi bagian dalam penggenapan rencana-Nya itu, bahwa kita adalah milik-Nya yang dikasihi-Nya dari kekekalan. Mari kita hidup dalam kasih karunia-Nya hari lepas hari, mengandalkan Dia, menantikan Dia menyatakan kemuliaan-Nya. Amin! Soli Deo Goria! Pastoralia“Agen Allah”
(Yesaya 62:1-12) Ketika mendengar istilah “Agen”, berbagai pemikiran yang berbeda mungkin akan muncul dari para pendengarnya berkenaan dengan arti dan pemakaian kata tersebut. Sebagian orang akan langsung menghubungkan dengan seseorang yang bekerja sebagai penyalur barang-barang tertentu; misalnya ‘agen pulsa’, ‘agen beras’, ‘agen gas’, ‘agen air mineral’, dan lain sebagainya. Sebagian orang lagi akan memikirkan film-film aksi yang menggambarkan kehidupan seorang agen rahasia yang diutus untuk memata-matai kegiatan orang atau negara tertentu. Apa sebenarnya ‘agen’ itu? Seorang agen adalah sebagai pribadi yang bertindak mewakili orang atau organisasi tertentu. Sebagai wakil dari orang tertentu atau organisasi tertentu, ia diberi kuasa dan wewenang untuk melakukan tindakan-tindakan yang telah diperintahkan kepadanya oleh orang atau organisasi tertentu. Apapun yang dikerjakannya – jika seseorang adalah agen yang baik – selaras dengan keinginan orang atau organisasi tertentu itu. kehadirannya adalah kehadiran orang atau organisasi yang mengutusnya. Ia adalah seorang yang mendengar perintah dan melaksanakan perintah itu dengan taat dan penuh pengabdian. Nas kita hari ini selain menyebutkan bahwa TUHAN sendiri tidak akan tinggal diam dan tenang (ay. 1) sampai umat-Nya dan tempat kediaman umat-Nya dipulihkan, nas itu juga menyatakan bahwa ada ‘penjaga-penjaga’, (para agen) yang ditempatkan TUHAN di atas tembok-tembok Yerusalem (ay. 6a), untuk tugas yang telah ditentukan-Nya. TUHAN menginginkan mereka juga tidak akan pernah berdiam diri sepanjang hari dan sepanjang malam (ay. 6b). Para penjaga itu (para agen-Nya) harus mengingatkan TUHAN kepada Sion. Mereka tidak boleh tinggal tenang dan mereka juga tidak boleh membiarkan TUHAN tinggal tenang, sampai Ia menegakkan dan membuat Yerusalem dan umat-Nya pulih dan terkenal (ay. 6c-7). Itulah tugas mereka – mewakili pengutus mereka, yakni TUHAN itu sendiri. Jika kita rangkumkan tugas mereka – para agen Allah – itu adalah:
Jika kita adalah ‘agen-agen Allah’ yang ditetapkan bagi umat-Nya masa kini, sadarkah kita bahwa kita tidak bekerja sendiri untuk menyelesaikan tugas yang dikehendaki-Nya? Bukankah Ia juga bekerja untuk menyelesaikan rencana-Nya? Maukah kita juga setia untuk mengerjakan tugas kita sampai Ia menegakkan Gereja-Nya dan membuat Gereja-Nya menjadi kemasyhuran di seluruh dunia? Maukah kita tinggal tetap di tempat yang telah disediakan-Nya bagi kita untuk mengerjakan tugas tersebut? Doa: Kami bersyukur untuk kelayakan masing-masing kami untuk disebut sebagai ‘wakil Allah’ di tengah keluarga, ditempat usaha, dan ditengah pelayanan umat-Mu. Biarlah kekuatan dan hikmat-Mu senantiasa menyertai kami dalam melaksanakan tugas-Mu yang mulia itu! Amin! Soli Deo Goria! |